Mars 🍉
Siapa bilang kuliah musik itu gampang? Maju sini satu-satu! Kalo nggak tahu apa-apa, nggak usah banyak omong. Well, aku sangat sering menerima komentar-komentar nggak mengenakkan dari keluarga hingga teman-temanku yang kuliah di PTN Indonesia. Pertanyaan semacam, 'Ngapain capek-capek kuliah musik? Padahal bisa les musik...' atau, 'lulus kuliah musik mau jadi apa? Masa jadi artis? Kalo gitu ngapain harus kuliah?' lebih parahnya lagi, 'kuliah bertahun-tahun main piano doang? Ngabisin waktu aja, mending cari tempat les.'
Nggak masalah kalo kata-kata seperti itu diucapkan sekali dua kali. Masalahnya... sering kali! Tiap ada kesempatan mereka pasti menyerangku dengan pertanyaan-pertanyaan yang menyebalkan. Seakan-akan kuliah musik itu sangat salah, padahal cara berpikir mereka saja yang awam. Mereka mana paham kalo latar belakang seorang musisi, penulis lagu, produser musik, komposer, guru vokal, hingga guru musik, sangat berpengaruh terhadap output yang dihasilkan. Taunya hanya julid saja. Sial.
"Dari kapan tahun Für Elise mulu. Bosan."
Nah, salah satu makhluk julidnya datang. Lukman nyengir kuda dengan telapak tangan menyelip masuk ke kantong celana. Sok tampan sekali. Ia berjalan sedikit terbungkuk karena sedang memapah alat musik cello dipunggung lebarnya. Aku dan Lukman sama-sama anak orkestra, bedanya ia memainkan alat musik cello sedangkan aku memainkan violin, walaupun aku juga menguasai piano.
"Meh. Padahal sendirinya juga sama. Dari jaman renaissance sampai jaman covid mutar-mutar di lagu Mozart terus. Kalo nggak Symphony No.40, ya Eine Kleine Nachtmusik." Balasku nggak kalah julid.
Lukman terkekeh kecil lalu menarik sebuah kursi untuk ia duduki. Kami sedang berada di ruang musik- menjalani latihan harian sebelum mengikuti kelas praktek yang diadakan seminggu sekali. Lagu Für Elise milik Beethoven dan Eine Kleine Nachtmusik milik Mozart sudah seperti lagu kebangsaan mahasiswa musik di NAFA. Atau mungkin lagu kebangsaan mahasiswa musik di seluruh dunia? Who knows. Yang jelas bukan hanya aku yang reflek memainkan salah satu lagu itu ketika menyentuh piano dan violin, tetapi juga sebagian besar mahasiswa-mahasiswi di kampus ini.
Ruang latihan di penuhi dengan suara-suara indah dari berbagai macam instrumen musik. Sebenarnya hal seperti ini sudah menjadi pemandangan biasa di kampus 3. Dari koridor depan hingga rooftop, gendang telinga akan dimanjakan dengan live music gratis. Tiada hari tanpa musik, itulah motto kampus 3 NAFA.
"Gimana persiapan konser?" Seperti biasa, Lukman akan mengganti topik pembicaraan saat kehabisan bahan untuk mengejekku.
"So far so good..." Sahutku santai.
"Mr. Simon ngeselin nggak sih? Masa ngemix lagu klasik sama modern aja nggak boleh."
"Kamu kan tau sendiri gimana beliau, idealis gitu. Klasik ya klasik, modern ya modern."
"Ya seharusnya nggak masalah-masalah banget, yang namanya musik orkestra, mau di mix sama dangdut pun oke-oke aja."
"Oke menurut kamu, belum tentu oke menurut Mr. Simon."
Lukman manggut-manggut menyetujui ucapanku. Memang Mr. Simon itu agak lain. Terlalu idealis, namun nggak bisa dipungkiri kalo beliau salah satu guru musik paling jenius di NAFA. Dedikasinya terhadap kemajuan NAFA sangat patut diacungi jempol. Ada banyak alumni yang sukses berkat campur tangan beliau. Beberapa dari mereka berhasil bergabung dengan orkestra kelas dunia yang sering melakukan pertunjukan di tempat-tempat bergengsi, seperti Sydney Opera House, Oslo Opera House, hingga La Fenice. Bahkan ada yang mendapat pekerjaan tetap di Broadway theatre New York. Orkestra milik beliau juga diisi para alumni NAFA, dan mereka sudah melanglang buana di seluruh dunia. Oh, sepertinya aku harus bekerja keras agar mendapat tempat di hati beliau.
KAMU SEDANG MEMBACA
MARS & VENUS (Gara-gara donat)
Teen FictionTeenegers world; apa hubungannya donat yang lezat dengan 3 remaja yang terlibat cinta segitiga? CW! • Markhyuck face claim • Genderswitch • 18+ • Romance • Semi baku • Lokal