Nightmare

585 101 7
                                    

Venus ☉

"Caca..."

Aku masih bergeming. Enggan beranjak sejengkal pun. Kakiku seakan rekat dengan tanah yang kupijak. Aku seperti terjebak di alam lain— no, aku sedang terjebak di alam mimpi. Ya, aku pasti sedang bermimpi sehingga sangat sulit mencerna situasi saat ini. Seruan lembut Marcel sepenuhnya kuabaikan. Sentuhan di pundakku bagai helaian rambut yang di lempar ke bara api. Sia-sia.

"Caca... jangan gini, Dek..." Suara Marcel kembali terdengar. Kali ini sedikit berdampak terhadap kesadaranku.

Marcel menangkup wajahku lalu menyatukan belah bibir kami. Lagi. Namun aku tetap abai seperti sebelumnya. Airmata Marcel menetes dan mengenai wajahku. Ironisnya, aku nggak bisa merasakan apa-apa.

"Caca, ayo..." Tanganku hendak di genggam Marcel tapi segera kutepis lalu kusembunyikan di balik punggung.

Bisa kudengar helaan napas berat Marcel seiring airmatanya yang terus mengalir. Dia pasti sangat frustasi hingga melampiaskan dengan tangisan dalam diam. Para pelayat memandang penasaran ke arah kami. Tepatnya ke arahku yang selama ini nggak pernah muncul di sekitar kediaman Wongso— kediaman keluarga Mama.

Bisakah aku mengulang waktu lalu melarang keras Papa datang ke Surabaya? Jika memang bisa, tolong beri tahu aku bagaimana cara mewujudkannya. Aku sangat hancur. Hatiku hancur. Duniaku hancur. Papa adalah sandaran ternyaman dan teraman yang pernah kumiliki. Sejak kecil hingga kini. Papa selalu ada untukku— satu-satunya payung yang selalu melindungiku di kala rintik hujan menyerang.

Tapi sekarang, pada siapa aku harus berlindung ketika semesta berbalik memusuhiku?

Mulutku nggak berhenti merapalkan kata Papa. Tapi semuanya masih sama. Papa sudah pergi, dan nggak akan pernah kembali lagi.

Tiba-tiba tubuhku melayang di udara. Penyebabnya adalah Marcel yang nampaknya sudah habis kesabaran. Aku meronta-ronta minta diturunkan. Demi Tuhan, aku nggak mau masuk ke sana, aku nggak mau menghadapi kenyataan yang tidak pernah kuharapkan.

Marcel nggak terpengaruh dengan pergerakanku mau pun dengan tatapan mengintimidasi orang-orang di rumah duka. Suasana yang harusnya tenang mendadak riuh kala kedatanganku dan Marcel. Beberapa orang mencibirku terang-terangan. Berkata kalo aku selalu menjadi biang masalah di dalam keluarga.

"Dek..."

Bang Kevin adalah orang pertama yang menyapaku dengan benar. Dia mengambil alih tubuhku dari Marcel lalu memelukku sangat erat. Aku sontak meraung-raung dalam pelukannya. Setelah berusaha keras menahan diri, pada akhirnya tangisku tetap pecah.

"Abang di sini... masih ada Abang... Jangan pernah merasa sendiri..." Bang Kevin selalu paham dengan kegundahanku.

"Papa... Papa..." Racauku di sela-sela tangisan.

"Iya, ayo kita liat Papa..."

"Nggak mau!!" Aku masih menolak untuk melihat jasad Papa. Sekali lagi, aku hanya belum siap di tampar kenyataan.

"Adek nggak boleh gitu... kasian Papa..."

"Caca, nanti kamu bakal nyesel kalo nggak liat Om Andrew untuk terakhir kali..." Marcel juga ikut membujukku. Rupanya dia belum beranjak dari sana.

"Aku bilang enggak ya enggak!!" Bentakku. Teriakanku cukup nyaring dan memekakkan telinga.

Bisa kulihat Mama berjalan ke arah kami. Jujur saja, aku sangat merindukan Mama. Tapi situasi saat ini sama sekali nggak tepat untuk sekedar menumpahkan kerinduan. Mama tersenyum tipis padaku. Sangat tipis hingga aku ragu kalo dia benar-benar tersenyum. Lingkaran matanya menghitam, wajahnya tampak lebih tua dari terakhir kali kami berjumpa. Dan lagi-lagi hatiku serasa di remas oleh tangan tak kasat mata.

MARS & VENUS (Gara-gara donat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang