Witches

742 101 25
                                    

Venus

Mataku terpaku pada layar televisi yang sedang menayangkan serial Netflix favorit Marcel. Menyukai Marcel saja nggak cukup, jadi aku memutuskan untuk ikut-ikutan menyukai semua kesukaan cowok itu. Sebelumnya hidupku berporos pada Jonathan, tapi mulai hari ini poros itu berpindah pada Marcel, benar?

Bicara soal Marcel, dia masih berada di luar. Pagi tadi Marcel pamit hendak bertemu dengan Papa-nya. Namun sampai sekarang belum ada tanda-tanda dia akan kembali. Jujur saja hatiku merasa cemas, rentetan pertanyaan mulai berputar-putar di kepala.

Apa aku bisa di terima di keluarga Marcel? Bagaimana kalo mereka menentang hubunganku dan Marcel? Marcel nggak akan meninggalkanku, kan? Kalo Marcel juga mencampakkanku, lantas apa yang harus aku lakukan?

Rasanya seperti tersesat dalam labirin. Sesak dan menakutkan.

Suara pintu terbuka seketika memecah lamunanku. Aku segera bangkit lalu berlari menyambut seseorang yang kuyakini adalah Marcel. Mataku berbinar cerah kala menangkap siluet lelaki itu. Marcel sedang berjongkok di depan pintu sambil berusaha melepaskan sepatu.

"Mas Marcel...!!"

"Eh... Ya ampun! Kaget, Dek..."

Protesan Marcel sepenuhnya kuabaikan. Aku berhambur ke pelukan Marcel lalu menenggelamkan wajahku di perpotongan lehernya. Marcel mendengus geli, namun nggak urung membalas pelukanku.

"Kenapa, sayang...?" Tanyanya.

Sekelebat rasa takut kembali menyeruak. Pelukanku kian mengerat, seiring kecupan hangat yang kutinggalkan di tulang selangka Marcel. Bisa kurasakan tubuh Marcel menegang setelahnya.

"Caca?"

"Diam dulu..."

Aku kembali mencumbu leher putih Marcel, menghisapnya, lalu menggigit main-main jakun Marcel hingga membuat si empunya mengerang frustasi.

Tanganku bergerak meloloskan kaos lelaki itu-- melemparnya ke sembarang arah kemudian mempertemukan belah bibir kami. Marcel sedikit kaget, namun lagi-lagi nggak urung membalas cumbuanku.

Benar atau salah, selama Marcel nggak berpikir untuk meninggalkanku, maka aku rela memberinya sesuatu yang paling berharga. Hatiku dan tubuhku.

"Caca..." Marcel menepis tanganku yang hendak membuka celananya.

Deru napas kami sama-sama memburu. Marcel memandangku sengit, sementara aku terlalu sibuk memikirkan langkah selanjutnya.

Mata Marcel terbuka lebar saat aku meloloskan kaos longgar yang kupakai. Aku tersenyum nakal sembari menyentuh dada bidangnya. Nggak ada sehelai pun benang yang menutupi tubuhku di bagian atas. Semua pakaianku baru kucuci dan masih terjemur di balkon apartemen.

"Hujan-hujan gini enaknya main, Mas..." Godaku.

"Dek."

Buah dadaku menempel sempurna di kulit Marcel. Aku mengecup bibir Marcel berkali-kali lalu membawa telapak tangan Marcel mengangkup sebelah dadaku.

"Vanessa..." Suara Marcel bergetar entah sebab apa.

"Gimana Mas? Lebih besar dari terakhir kali nggak, kira-kira?"

"Kamu kenapa?"

Jawaban Marcel sama sekali nggak sesuai dengan pertanyaan yang kulayangkan. Dia menatap lurus ke manik mataku-- mencari tahu alasan di balik tingkahku yang tiba-tiba binal.

"Masmu nanya lo, kok ndak jawab?"

Terbersit sedikit rasa hangat kala Marcel menorehkan senyuman di wajahnya yang tampan. Aku menggigit bibir-- meredam sesuatu yang ingin keluar dari kerongkongan.

MARS & VENUS (Gara-gara donat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang