2. Sosok Naruto

926 119 5
                                    

Hinata memasuki apartemen dengan gontai mengikuti langkah Naruto yang terlihat begitu tegap dan juga gagah. Lelaki yang berstatus suaminya itu masih belum buka suara sejak tadi, bahkan sepanjang perjalanan hanya ada keheningan.

Sesekali Hinata bertanya dan hanya di jawab seadanya oleh pemuda itu. Naruto sedang marah padanya, itu yang Hinata tangkap.

"Nar, jangan diem aja dong.." Hinata mulai tak nyaman dengan situasi ini, lelaki itu menoleh sekilas ke arah Hinata sebelum ahirnya mengabaikannya lagi. Naruto mengambil sebuah kaus dan celana training untuk tidur.

"Ya emang mau ngomongin apa?" Tanya pemuda itu datar.

"Ya apa gitu loh, kamu biasanya marahin aku kalau pulang telat kok sekarang malah diem aja?" Gadis itu duduk di tepi ranjang sambil cemberut. Dia sama sekali tidak menghiraukan pemandangan di hadapannya. Kadang roti sobek suaminya itu terlihat sangat menggoda namun kadang kala Hinata hanya menganggapnya biasa saja.

"Emang lo gak capek gue marah terus? Gak sakit kuping lo dengerin gue ngomel?" Naruto melemparkan baju kotornya ke arah keranjang yang ada di sudut ruangan lalu merebahkan diri di kasur tepat di sebelah Hinata.

"Gue gak enak kalau lo diem gini, gue tau gue salah tapi jangan diemin gue dong Nar.." gadis itu merengek sambil menggoyang-goyangkan punggung suaminya yang terlihat acuh itu. Sungguh Hinata benci situasi dimana dia harus mengemis seperti ini, sebenarnya dia bisa saja mengabaikannya namun nuraninya menolak. Tidak baik seorang istri mengabaikan suaminya yang sedang marah, setidaknya berusahalah dulu untuk membujuknya.

"Enakin aja kali, toh gue gak begitu penting kan buat lo? Gapapa Nat, sans aja.."

"Nar engga gitu, maafin aku. Jangan ngomonh gitu kenapa.."

Jujur mendengar Naruto berkata begitu hatinya sedikit terasa sakit, selama ini dia banyak mengabaikan Naruto tapi pemuda itu tidak pernah begitu marah sampai seperti ini.

"Udah malem gue capek Nat, mending lo tidur besok kuliah pagi kan?" Masih dengan posisi tengkurapnya Naruto mencoba mengalihkan pembicaraan.

"Iya," Hinata bergegas menuju kamar mandi, membersihkan diri dan mengganti pakaian. Niat hatinya ingin tidur namun saat melihat Naruto yang sedang mengutak atik ponsel dia teringat sesuatu. Dia melangkah takut mendekati Naruto lalu duduk di sebelahnya.

"Kamu udah makan Nar?"

"Belum."

Hinata benar benar istri yang buruk, dia  bisa makan dengan kenyang di luar sana tanpa memikirkan bagaimana suaminya di rumah. Seketika rasa bersalah menghantui gadis itu.

"Aku masakin ya.."

Naruto mengamati wajah gadis itu sejenak, dia melihat guratan wajah Hinata yang terlihat lelah. Mungkin gadis itu sedang banyak pikiran ahir-ahir ini. Naruto sendiri cukup sibuk hingga waktunya memperhatikan Hinata tidak begitu banyak.

"Kalau capek tidur aja gapapa, aku bisa makan besok pagi." Pemuda itu tersenyun, berusaha menyingkirkan perasaan kesal yang sejujurnya masih memenuhi rungga dadanya.

"Aku masakin bentar ya, kamu tunggu aja.." Hinata melebarkan senyumannya saat melihat Naruto tidak lagi mempermasalahkan kesalahannya tadi. Gadis itu berlari kecil menuju dapur sambil mengikat rambutnya tinggi-tinggi. Dia akan berusaha menjadi istri yang baik, meski nyatanya selama dua tahun bersama Hinata masih mereka hubungan mereka bukanlah sesuatu yang penting.

Ketimbang suami, Hinata lebih menganggap Naruto temannya. Teman tapi mesra? Hanya merekalah yang tau.

***

Naruto keluar dari kamar hendak menyusul Hinata, gadis itu mungkin butuh bantuannya.

Naruto berhenti sejenak saat melihat gadis cantik itu sedang menyusun meja makan, tak banyak yang dia hidangkan hanya semangkuk ramen yang dia buat dengan terburu-buru takut Naruto kelaparan.

Hinata tersenyum melihat mie yang dia masak terlihat nikmat, tanpa sadar senyuman itu menular. Naruto berdehem pelan hingga mengagetkan Hinata, gadis itu terperanjat melihat Naruto.

"K-kamu dari kapan di situ Nar?" Tanya Hinata gugup, dia takut Naruto melihat dirinya yang banyak atraksi saat masak sejak tadi.

"Baru aja."

Gadis itu tersenyum lega, dia menarik lengan Naruto membawa pemuda itu duduk di kursi.

"Maaf ya cuma ramen itupun instan, ternyata bahan makanan pada abis." Sesal Hinata.

"Besok beli," Naruto tampak tidak begitu peduli, dia mulai menikmati makanannya sementara Hinata duduk manis menemani Naruto.

Kalau sedang seperti ini, mereka berdua terlihat sangat harmonis dan saling mencintai namun pasti akan ada satu waktu dimana mereka terlihat seperti orang asing.

"Soal yang tadi aku minta maaf ya Nar, aku salah." Gadis itu menunduk, menyesali dirinya sendiri yang entah sudah keberapa kali melakukan kesalahan itu. Naruto cenderung mengikuti bagaimana cara Hinata memperlakukannya, bahkan tidak ada aturan khusus mengenai cara mereka berbicara atau saling memanggil selama ini. Semua terserah mereka saja.

"Besok jangan sampai pulang lebih dari jam delapan, kalui emang acaranya lama dan kamu masih nyaman di sana kamu bisa kabari aku. Aku bisa jemput kamu biar pulangnya lebih aman." Naruto meletakan mangkuknya yang sudah kosong di atas meja lalu menyeput air putih yang tersedia di sana.

"Aku gak enak, takut kamu kerepotan soalnya kerjaan kamu kan udah banyak."

"Kamu tuh sebenernya nganggep aku apa sih? Mau sampe kapan kamu bilang gak enak terus? Aku kasi uang gak pernah di ambil, aku anter jemput selalu banyak nolak, aku fasilitasi kamu selalu pilih buat pake punya kamu aja. Beli pake uang kamu aja. Kamu kira aku kerja buat siapa Nat?"

Gadis itu terdiam, padahal tadi dia menginginkan sosok Naruto yang otoriter seperti ini namun ketika sosok itu kembali Hinata merasa terpojok dan kesal.

"Ya gimana aku mau terima itu semua kalau aku aja gabisa jadi istri yang baik buat kamu? Aku masih sibuk sama dunia ku padahal kamu udah berusaha jalanin kewajiban kamu. Sesepele masakin kamu aja aku masih lupa gimana yang lain Nar.."

Hinata hampir menangis saat mengatakan itu, hatinya sakit. Sejujurnya pernikahan ini adalah satu dari sekian banyak hal yang tidak di inginkan Hinata. Namun apa boleh buat dia tidak pernah bisa keluar dari lingkaran ini.

Naruto mengusap wajahnya kasar, lelah sudah pasti namun dia sadar Hinata belum cukup dewasa untuk paham seperti apa kehidupan pernikahan sesungguhnya. Naruto menghela nafas panjang.

"Bisa gasi lo tuh jadi Hinata yang biasanya aja, yang kerjaannya cuma bikin gue marah gajelas bukan Hinata yang cengeng kaya gini?"

Gadis yang hampir menangis itu menatap Naruto melotot lalu memukul dada pemuda itu kencang. Tenang gak sampai bunyi dug kok. Hehe

"Bacot ah sialan! Lo juga kenapa mukanya tegang banget kaya kolor baru?! Siapa yang gak takut kamprer?" Hinata mengusap wajahnya kasar, menghapus air mata yang nyaris terjatuh dari sudut matanya.

Naruto mengusap kepala gadis itu pelan, sambil diam diam ingin mematahkan lehernya. Iya Naruto jengkel banget tapi mau gimana lagi, Naruto sama gak berdayanya sama Hinata jadi yaudahlah. Dia cuma bisa pasrah.

"Apaan deh, perasaan gue juga biasa aja."

"Biasa aja pala lu pitak, muka lo tu-"

Lutut Hinata lemas se lemas lemasnya. Iya lemes banget enggak bercanda! Saat tiba-tiba Naruto menciumnya, melumat bibirnya lembut sebelum ahirnya memeluk gadis itu erat. Naruto menyesapi aroma rambut Hinata yang khas dan jujur membuatnya selalu tergoda.

"Lo kalau banyak tingkah mulu, gue hamilin lama-lama!"

Hinata mendelik lantas mendorong tubuh Naruto menjauh.

"Dih ogah!! Nantik badan gue gendut terus gak cantik!" Hinata berlari meninggalkan Naruto yang masih tertawa di dapur. Pemuda itu berjalan mengikuti Hinata menuju kamar, mungkin peliknya masalah di kantor dan kampusnya itu bisa dia kurangi dengan sedikit bermain-main dengan Hinata.

"Nat, lo masih belum dapet hukuman jadi jangan harap lo bisa lolos.."





Tbc__

SOMEONE BESIDE ME | Hyuuga HinataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang