“Enak banget ya tadi bisa peluk-pelukkan sama mantan.” Sindir Hinata, gadis itu mulai membuka cemilannya sambil mencari posisi nyaman di sofa.
“Mantan apa sih Nat? aku gak pernah pacaran sama dia..” Naruto mengusap wajahnya kasar, agak kesal pada Hinata yang menuduhnya sesuka hati namun dia tidak bisa berbuat banyak.
“Mantan gebetan.” Masih enggan mengalah Hinata melanjutkan argumennya.
“Sayang itu kan dulu, sekarang aku udah gak ada apa-apa sama dia.”
“Ada apa-apa atau enggak aku mana tau, kan bisa aja kamu main belakang.”Hinata tidak bisa menahan kekesalannya, dia tau suaminya tidak mungkin melakukan hal itu. Tapi kalian sebagai perempuan tau kan bagaimana rasanya jadi Hinata? Melihat suami kalian di peluk oleh mantan gebetannya, itu rasanya sangat sulit di jelaskan. Hati Hinata potek di buatnya.
“Dia tadi bantu aku jalan dari kamar mandi, aku masih agak lemes. Gak peluk-pelukan kaya yang kamu bayangin.”
“Kenapa mau di bantuin dia? Kenapa gak nelfon aku?” Hinata menatap Naruto kesal, sambil mengunyah cookies dia bersungut-sungut.
“Aku takutnya ngerepotin kamu, kan kamu baru aja pulang. Aku tadi manggil suster gak taunya malah dia yang dateng.”
“Kenapa gak di tolak aja pas tau dia yang dateng? Kan bisa cari yang lain!”
“Nat berhenti kaya anak kecil. Emang kamu kira ini rumah sakit pribadi yang bisa sesuka aku minta ganti perawat atau dokter? Kalau bukan karena udah kepepet aku juga pasti nunggu kamu.”
Hinata terdiam, mulutnya terkunci rapat saat mendengar perkataan Naruto yang cukup sarkas itu. Hinata merasa sakit hati mendengarnya.
“Meskipun nikah sama kamu itu bukan kemauan aku, tapi aku bukan laki-laki murahan yang bisa tergoda sama wanita di luar sana. Aku udah dewasa, aku tau apa itu komitmen dan janji.”
Deg.
Entah kenapa perkataan Naruto itu seperti sebuah panah yang sengaja di arahkan ke hati Hinata secara langsung. Menusuk tepat di ulu hati hingga gadis itu tidak bisa berbuat apa-apa lagi.
“Maaf..” tanpa terasa air mata Hinata berjatuhan, gadis itu bahkan tidak bisa melanjutkan kata-katanya. Tangannya seketika bergetar dan tubuhnya berubah dingin. Dia seperti baru saja di tampar oleh kenyataan. Dia bukan siapa-siapa. Dia tidak berhak. Hinata tidak boleh ikut campur. “Maaf.” Suaranya bergetar menyedihkan.
“Kamu pasti salah paham ini, gak gitu maksudnya Nat..” Naruto berusaha turun namun Hinata lebih dulu mencegahnya.
“Gak papa Nar aku paham, maaf ya kalau nambahin beban kamu.” Gadis itu keluar dari ruangan itu sambil menangis, dia tidak bisa menahan sakit hatinya lagi. Hinata menyusuri lorong rumah sakit sambil sesekali terisak dan mengusap air matanya, dia mengabaikan Naruto yang memanggilnya dari kejauhan. Hatinya terlalu sakit bahkan untuk sekedar berbalik badan.
Awalnya Hinata merasa dia bisa bersama dengan Naruto, pemuda itu memberikan arti kehidupan lagi padanya. Namun nyatanya, hanya Hinata lah yang merasa dia sempurna, dia penting namun Naruto tidak. Hinata hanya sebuah tanggung jawab formalitas untuknya.
“Ma, Pa. Kenapa kalian gak bawa Nata juga? Nata capek.” Ratapnya.
Naruto hanya menatap punggung mungil itu dari kejauhan, Hinata pasti salah paham dengan ucapannya. Naruto akui dia sedikit emosi karena gadis itu masih bersikap kekanakan, cemburu tanpa sebab padahal Naruto tidak pernah sekalipun mencoba berpaling darinya. “Sial.” Naruto memukul daun pintu itu dengan kesal hingga membuat selang infusnya terlepas dan berdarah. Rasa sakitnya tidak lagi terasa sekarang berganti rasa kesal namun juga cemas dalam satu waktu.
***
Di sinilah Hinata, menyendiri di ruangan apartemen minimalis yang dia huni sebelum dia menikah dengan Naruto. Apartemen ini dia beli dengan uang tabungannya, meski tidak seberapa mewah daripada apartemen yang dia tinggali dengan Naruto sekarang, namun di sini Hinata punya ketenangan lebih daripada di sana.
Hinata bisa menangis sepuasnya di sini, mengenang kembali masa-masa kecilnya yang bahagia juga masa SMA nya yang sangat bebas. Hinata sangat rindu suasana waktu itu. Dalam sebuah ranjang berukuran sedang Hinata mencoba mengobati sakit hatinya seorang diri.
Kadang, lebih baik tidak pernah merasakan di cintai sama sekali daripada harus merasakan kehilangan yang sangat menyakitkan seperti ini.
***
Dua hari Hinata masih tinggal di apartementnya, menikmati kesendirian dan mulai berdamai dengan hatinya. Hinata sengaja mematikan ponsel pribadinya agar Naruto tidak bisa menghubunginya.
Tapi bisa jadi Naruto tidak menghubunginya, Hinata tidak se-istimewa itu hingga harus di cari-cari. Daripada mencari gadis merepotkan seperti Hinata lebih baik istirahat bukan?
Selama tinggal di apartrment ini Hinata memilih untuk menenggelamkan diri dalam kesibukan tidak berfaedah seperti tidur, makan, menonton netflik, sampai membaca kembali tumpukan komik dan novel-novel romansa miliknya.
Dia melakukan apapun asal tidak kepikiran Naruto. Untuk sejenak dia ingin keluar dari pikirannya yang melelahkan. Lagi pula Naruto belum tentu memikirkan dia jadi untuk apa Hinata memikirkannya.
***
Tanpa Hinata ketahui, Naruto jelas memikirkannya. Pemuda itu bahkan tidak bisa tidur nyenyak sejak kepergian Hinata hari itu. Naruto memilih keluar dari rumah sakit lebih cepat, dia sudah tidak tahan di sini. Hinata tidak bisa di hubungi dan tidak ada satupun temannya yang tau keberadaannya dimana. Hal itu semakin membuat Naruto sakit kepala, daripada dia berdiam diri di sini lebih baik dia bertindak.
Setelah mendapat izin dari dokter untuk pulang lebih cepat Naruto bergegas menuju apartementnya. Dia sudah siap untuk mengemis permintaan maaf pada gadis itu, dia benar-benar menyesali perkataannya tempo hari. Seharusnya dia bisa menahan diri tidak justru tersulut emosi.
Hinata belum bisa memahami pemikirannya, gadis itu masih belum dewasa dan Naruto harus lebih sabar menghadapinya.
Pemuda itu berjalan dengan tergegesa-gesa melewati loby apartementnya, menuju lift dengan hati berdebar-debar tak karuan. Semoga Hinata ada di rumah mereka, Naruto tidak tau harus berbuat apa jika gadis itu tidak ada di sana.
Dengan perasaan gursar Naruto memasuki unit apartementnya. Dingin, bahkan kehampaan itu sangat terasa padahal Naruto belum memasuki unit apartementnya lebih dalam. Pemuda itu bergegas menuju kamar, mungkin Hinata ada di dalam. Dengan sejuta pengharapan Naruto melangkah dan membuka pintu namun kenyataan pahit menimpanya. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di ruangan itu, Hinata pasti tidak pulang ke sini.
Kemana gadis itu?
Kaki Naruto terasa lemas hingga ia terduduk di tepi ranjang sambil menunduk, “Nata, aku minta maaf..” gumamnya yang tidak akan pernah terdengar oleh Hinata.
Tbc____
KAMU SEDANG MEMBACA
SOMEONE BESIDE ME | Hyuuga Hinata
FanfictionJangan terau cepat menilai, karena apa yang kau lihat dan pikirkan belum tentu sesuai dengan kenyataan. a Naruhina Fanfiction story by MhaRahma18 cover by painterest cr Masashi Kishimoto