Sana menapaki ubin-ubin lantai dengan langkah tegas. Sorot matanya yang tenang dan pembawaannya yang dingin pun membuat tiap orang yang dirinya lewati menunduk hormat.
Mengenakan dress kuning dan kacamata hitam serta topi di kepala, Sana pun berhenti tepat di depan pintu bercat emas yang tampak elegan dengan ukiran-ukiran klasik. Sana terdiam sejenak dan terlihat tengah membenarkan penampilannya, merapikan dress yang dia kenakan serta membetulkan letak kacamata serta topi yang ia pakai. Dengan sekali tarikan napas ia memutar knop pintu dan masuk ke dalam ruangan. Dengan langkah yang diusahakan sesopan mungkin ia berjalan mendekati meja besar yang ada di sana, meja yang tengah ditempati sesosok pria paruh baya dengan setumpukan buku-buku tebal yang menjulang. Sana menunggu dengan sabar, tapi tampaknya sosok itu tak kunjung juga menyadari keberadaannya.
"Ehem... Papi?" panggil wanita itu dengan sopan. Membuat seseorang yang ia panggil dengan sebutan Papi itu mendongak.
"Kamu sudah datang?" tanya Papi.
"Aku dengar dari pengacara Papi kalau Papi nyuruh aku temuin Papi. Jadi aku datang," jelasnya dengan sopan.
Papi tampak menutup buku dan sedikit memberes-bereskan isi mejanya dan lanjut bertanya.
"Kamu sudah makan siang?"
"Sudah, Pi."
"Bagaimana liburan kamu satu minggu ini? Sudah lebih dari cukup?"
Sana yang sedari tadi berdiri sopan pun mulai terserang rasa gugup. Matilah dia!
"Y-ya," jawabnya.
Papi tiba-tiba bangkit dari kursi. Dengan langkah pelan lelaki paruh baya itu mulai berjalan.
Sana yang masih setia berdiri pun tak lupa mengikuti tiap gerak-gerik sang Papi dengan kedua bola matanya.
Papi berjalan menuju sebuah lemari besar di sudut ruangan. Menyebabkan Sana yang sedari tadi mengawasinya semakin bergerak gelisah.
"Papi. aku bisa jelasin." jelas Sana sambil mundur satu langkah.
Sana sudah tidak bisa santai. Melihat papinya tiba-tiba mengambil sebuah samurai dari dalam lemari.
"Ya Tuhan, ngapain tiba-tiba ngeluarin samurai?!" Batin sana.
"Diam, jangan bergerak kamu," intruksi Papi sembari membuka sarung penutup samurai yang terbuat dari kayu itu.
"Pi... Papi nggak bermaksud untuk...."
Suara Sana bergetar takut melihat kilatan silau samurai yang tampak tajam menembus iris matanya."Kamu kira Papi udah gila? Semarah-marahnya Papi dengan kamu, Papi nggak akan membunuh kamu."
Untuk beberapa saat ucapan Papi sedikit bisa membuat Sana merasa tenang. Ia seketika menghela napas lega.
"Aku kira Papi bakal ngapain. Papi nyeremin soalnya," ucap Sana tersenyum lega, tak menyadari tatapan menusuk dari papinya masih belum juga surut.
"Kata siapa Papi nggak bakal ngapa-ngapain kamu?" Ucapan Papi berhasil membuat Sana kembali menoleh ke arah pria renta di depannya tersebut.
Dan seakan Papi memang selalu sukses membuat Sana ketar-ketir, mata Sana langsung membulat kaget saat papinya mengangkat sarung kayu samurai itu dan menodongkan benda itu ke arahnya.
"Oh my god!" Sana langsung berlari ke belakang sofa untuk menghindari amukan tersebut.
Perempuan itu tampak berdiri kalut di belakang sofa, menghindari sang papi yang sedang menatapnya bengis.
"Kamu itu ya! Kamu kira Papi nggak tahu kelakuan kamu hahh? Minatozaki Sana! Sini kamu!" teriak pria renta itu masih bersemangat menodongkan benda kayu tersebut ke arah putrinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝚂𝚗𝚊𝚣𝚣𝚢
RomansaCantik, pintar, kaya, dan seksi. Empat hal yang diimpikan oleh para perempuan dan semua itu berada dalam diri seorang Minatozaki Sana. Sayangnya keempat hal tersebut tidak membuat seorang Chou Tzuyu serta merta bertekuk lutut di hadapannya. Karena...