CHAPTER 46

1K 97 3
                                    

Ara merebahkan Aarav di kasur lelaki itu. Saat Ara hendak beranjak untuk ke dapur mengambil minum, tangannya diraih Aarav.

"Aku terlihat menyedihkan, bukan?" ujarnya.

Ara mendekati Aarav dengan menyelaraskan wajahnya dengan wajah Aarav yang menatapnya balik.

"Tidak, kamu sudah berusaha."

"Tapi..."

"Sudah, kamu istirahat saja, aku tidak akan ke mana-mana. Aku hanya akan mengambil air minum agar kamu bisa tenang sedikit."

Aarav terdiam terlihat enggan melepaskan tangan Ara, namun sesaat kemudian dia menghembuskan napas pelan lalu melepaskan genggamannya. Ara tersenyum kemudian berlalu ke dapur.

Sepeninggal Ara, Aarav menelentangkan badannya menarik napas pelan lalu menghembuskannya, dia bersyukur ada Ara di sampingnya sekarang, seandainya Ara tidak ada, dia tidak tahu akan berbuat apa saja sekarang, bahkan mungkin besok dia tidak akan pergi ke sekolah. Sekolah, mengingat sekolah Aarav menjadi teringat sesuatu. Aarav menutup mata.

Ah benar. Lusa, acara yang mereka siapkan untuk perpisahan dan pembagian rapot akan dilaksanakan.

Bagaimana ini? Apakah aku akan baik-baik saja besok? Apa aku bisa bertemu Enzi dan Aya seperti biasanya? Apakah kemungkinan orang-orang mengetahui rahasiaku yang sudah kututupi sejak lama? Apa aku akan diberi tatapan aneh seperti dulu lagi? batin Aarav tidak henti memikirkan hal negatif yang sebenarnya belum tentu akan terjadi. Tapi bagaimana mau dikata, tidak semudah itu menyembuhkan trauma.

Tanpa ia sadari kondisinya sekarang semakin memburuk, dia berkeringat banyak sekali dan bergerak gelisah seperti bermimpi buruk.

Ah...Kepalaku sakit.

"Aarav!"

Aarav membuka matanya, napasnya tersengal, matanya segera melirik ke arah asal suara yang memanggilnya, "Ara..." Aarav seperti ingin menghilang sekarang, dia tidak mau memperlihatkan sisinya yang seperti ini kepada Ara. Ara duduk di bibir ranjang setelah meletakkan segelas air putih dan satu butir obat.

"Hei, aku tahu kamu sedang memikirkan hal aneh-aneh," ucapnya sambil menyapu keringat Aarav dengan tisu. Aarav hanya diam tidak menyahut, "Kamu..." Ara menangkup kedua belah pipi Aarav dengan tangannya lalu kembali berucap, "Ingin sendiri dulu? Atau aku temani sampai tertidur?"

Aarav menutup matanya lalu membukanya kembali dan menatap Ara, memegang sebelah tangan gadis itu yang menangkup pipinya kemudian tersenyum kecil, membuat Ara menyadari kalau yang mengambil alih sekarang bukanlah Aarav. "Aciel?"

"Kurasa pikirannya sedang kacau, tapi aku akan menggantikannya sebentar agar dia tenang," ucapan Aciel membuat Ara menghembuskan napas pelan.

"Tapi, aku tidak menolak untuk ditemani tidur," sambungnya. Lalu menarik Ara untuk ikut berbaring di sampingnya. Namun, aksi Aciel terhenti karena Ara menopang tubuhnya agar tidak jatuh berbaring.

"Tidak, kamu harus makan lalu minum obat dulu," ucap Ara, berusaha tegas walaupun sebenarnya sedang menahan malu, sepertinya dia menyesali ucapannya untuk menemani lelaki ini tidur."

"Aku tidak lapar."

"Tapi perutmu tidak boleh kosong kalau mau minum obat."

"Aku tidak mau minum obat."

"Tenang saja, ini hanya penenang."

"Tapi aku sudah tenang."

Ara menahan geregetnya, pertama kalinya dia berdebat seperti ini dengan Aciel, ternyata Aciel keras kepala juga.

"Aciel...Dengar," masih dengan posisi yang sama, Ara kembali berucap, "Tubuh ini," ucapnya sambil meletakkan jari telunjuknya ke dada Aciel, "Bukan hanya kamu yang punya, kalau Aarav sakit, kamu pasti juga ikut sakit. Jadi, kalau kamu makan dan minum obat dan mulai membaik, maka semuanya akan membaik, paham?"

Aciel mengerjapkan matanya. Lalu terkekeh pelan, "Senang ada yang mengkhawatirkan, entah sejak kapan terakhir kali aku merasakan perasaan ini," ucapnya lalu memegang kedua belah tangan Ara dan mengajaknya bangkit untuk duduk.

"Baiklah, aku akan makan," perkataan Aciel membuat Ara tersenyum senang dan merasa bangga karena sepertinya dia sudah mulai tegas dengan kekasihnya ini, "Tapi, aku tidak mau makan bubur."

"Terus?"

"Roti."

"Oke, yang penting perutmu terisi," ucap Ara kemudian beranjak pergi ke dapur lagi untuk membuat roti lapis.

Aciel hanya memandang punggung Ara yang menjauh, lalu menyamankan posisi rebahannya. Berselang beberapa menit, Ara kembali membawa roti isi sayur, tomat, dan daging.

"Ini, aku tidak tahu rasanya apakah enak atau tidak."

Aciel kembali bangkit lalu menerima roti buatan Ara dan mulai memakannya. Hm, dagingnya sedikit mentah. Batinnya, tapi tetap memakannya sampai habis. Mungkin karena ingin cepat-cepat Aciel makan dan minum obat lalu istirahat, Ara tergesa-gesa menggoreng dagingnya.

"Bagaimana?"

"Hm, enak."

Ara tersenyum, lalu mengambil air putih di nakas kemudian menyodorkannya ke arah Aciel diikuti sebutir obat penenang yang ia dapatkan di kotak kesehatan di dapur. Setelah Aciel minum obat, Ara membantu Aciel berbaring dan merapikan selimutnya. Lalu duduk tegap di kursi di samping ranjang Aciel. Hal itu membuat Aciel menatap Ara bingung, sedangkan yang ditatap hanya senyum senang, karena merasa bangga bisa merawat kekasihnya.

"Kenapa di situ?"

Ara memiringkan kepalanya bingung, "Aku menemanimu tidur," jawab Ara, kemudian tersadar, "Oh? Aku mengganggumu untuk tidur? Kamu mau aku di luar saja? Atau aku pulang saja?"

Aciel terkekeh pelan melihat tingkah Ara yang salah paham dengan keinginannya minta di temani tidur.

"Kamu menggemaskan," ucapan spontan Aciel membuat wajah Ara memerah dan tidak bisa berkata-kata.

"Kamu salah paham, maksudku ditemani itu seperti ini," ucap Aciel lagi sambil menarik Ara untuk ikut tidur di sampingnya lalu memeluk gadis itu. Ara gelagapan, "Aciel..."

Mereka saling tatap, cukup lama. "Tenang saja," ucap Aciel pelan, "Aku tidak akan melakukan lebih."

Ara yang sempat tegang, akhirnya dapat rileks sedikit, "Janji?"

"Janji," sahut Aciel.

Yah...Setidaknya Ara yakin, Aciel bukanlah seseorang yang ingkar janji.

"Tapi..." Aciel kembali berucap, lalu tiba-tiba mengecup dahi Ara. Cukup lama, Ara hanya diam membeku, namun dia dapat merasakan kehangatan, kasih sayang yang Aciel berikan.

"Terima kasih," ucap Aciel dengan senyum menenangkannya, membuat Ara ikut tersenyum.

"Gawat, aku ingin mengingkari janjiku," ucap Aciel ketika mendapati senyum Ara yang sangat dekat seperti ini membuatnya ingin mencium gadis itu, wajah Ara berubah jadi cemberut. Lalu mencubit perut Aciel.

"Akh, ahahahah sakit."

"Makanya diam sekarang dan tidur!"

Aciel terkekeh lagi, lalu memeluk Ara menenggelamkan wajah gadis itu ke dadanya dan mulai menutup matanya.

Aciel menyadari, dari kehidupannya yang pahit, dia menemukan Ara sebagai obat yang paling manis.

.

.

.

Bersambung...

---------------------------------------------------------------------------

Blueberriesn_

Note:

Karena Author sangat telat update lagi, kali ini up dua chapter langsung.

Jangan lupa vote, komen dan share, ya.

Next~

INARA AND THEM(END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang