CHAPTER 4

2.5K 142 9
                                    

"Aduuh," Ara menggosok kepalanya yang terkena kok badminton. Dan betapa kagetnya ia ketika melihat Aarav berjalan mendekat dan mengambil kok yang ada di depan kakinya. Sambil menatap tajam ke arah Ara, Aarav berucap pelan, "Kalau lo gak datang gua yang akan menarik lo ke dalam ruang seni dengan 'paksa'," ucapnya sambil menekankan kata paksa.

Hiiii, Ara hanya mematung bergidik ngeri, lalu saat Aarav sudah menjauh Ara sadar dan membatin, Suasana tadi, sangat mirip saat bertemu pertama kali di ruang seni, perasaan tertekan, ugh..Bagaimana ini? Aku gak mau berurusan lebih jauh dengannya, tapi ancamannya ini membuatku takut. Apa kuceritakan saja? Ugh tidak, tidak. Datangi saja? Aduuh aku bingung, huhu...

Batin Ara menangis.

Sehabis olahraga saatnya jam istirahat kedua, sekarang Ara berada di toilet sedang menatap bayangan wajahnya di cermin, dahinya mengerut, kemudian ia menghela napas, lalu membasuh wajahnya. Badannya mulai terasa lelah sehabis olah raga. Begitu pula dengan pikirannya. Yang masih kalut apakah harus mendatangi Aarav ke ruang seni atau tidak. Siapa yang tidak takut coba, baru berinteraksi dengan seseorang dan seseorang itu laki-laki, selain itu tindakannya benar-benar aneh, bahkan pertemuan-pertemuan 'tidak sengaja' mereka benar-benar di luar pemikiran Ara. Ara tiba-tiba terdiam. Dia mulai memikirkan sesuatu, namun pikirannya terenyahkan karena beberapa siswi masuk ke toilet, merasa canggung karena di perhatikan Ara memilih keluar dari toilet dan mulai berjalan ke kelas. Pilihannya adalah masih menghindar, dia memang penasaran mengenai apa yang akan Aarav inginkan di ruang seni, namun mengingat kejadian-kejadian beberapa hari terakhir, entah kenapa dia jadi ngeri. Kepalanya jadi sakit.

Sesampainya di kelas Ara menelungkupkan kepalanya di meja, dia tiba-tiba merasa tidak enak badan. Apa karena bergadang dan kepanasan saat olah raga? Atau karena pikirannya yang sekarang di penuhi oleh Aarav?

"Ara!"

Ara tidak menghiraukan panggilan gadis cantik itu, Aya.

"Ara, kamu dari mana saja? Gak mau makan di kantin? Ini jam makan siang, lho."

Ara menggelengkan kepalanya pelan. Aya yang sadar kebiasaan Ara saat tidak enak badan, segera mencek suhu tubuh Ara, "Ara kamu sakit. Pulang, ya?" bujuk Aya.

Ara sebenarnya ingin menolak karena setelah ini tinggal 2 mata pelajaran saja setelah itu kelas bubar, namun mengingat perkataan Aarav yang akan menariknya paksa kalau tidak datang, dia mengiyakan saja bujukan Aya.

"Aku telpon Om Adit dulu, sehabis jam istirahat kamu pulang, oke?" saran Aya, Om Adit adalah sopir priadinya yang selalu mengantar Aya sejak kecil kemana pun dia mau asal tempat yang baik-baik.

Ara hanya diam, namun Aya tahu kalau Ara menyetujuinya, pernah beberapa kali kejadian seperti ini terjadi, tubuh Ara memang tidak terlalu kuat namun tidak terlalu lemah, biasanya kejadian seperti akan terjadi jika Ara bergadang dan melakukan aktivitas berat apalagi sampai kepanasan, suhu tubuhnya akan naik dan kepalanya akan sakit, namun setelah pulang dan istirahat, besoknya dia sudah bisa bersekolah. Selagi Aya menunggu sopirnya datang, Aya menemani Ara yang sepertinya hampir tertidur.

Seseorang yang bersandar di dinding luar kelas, setelah menghela napas mulai berjalan menjauh.

"Mungkin lain kali," ucapnya pelan.

Di rumah Ara

Mama Ara terkejut saat Ara pulang lebih awal terlebih saat mengetahui kondisi Ara.

"Mas Adit, masuk dulu, yuk," tawar Mama Ara, sopir Aya memang sudah akrab dengan keluarga Ara karena Aya kadang meminta sopirnya untuk mengantar Ara.

"Tidak usah, bu. Saya lagi ada kerjaan sehabis ini, mungkin lain kali," tolak Mas Adit sopan.

"Maaf merepotkan, ya."

INARA AND THEM(END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang