Bab 11. Rencana Gila (2)
•••
Michelle menguap lebar seraya menggaruk kepalanya yang gatal. Ia tidak tau sudah berapa lama ia tidur di ruang UKS. Tapi mendengar suara bising dari ruangan tempat murid-murid membolos—–seperti dirinya—–Michelle mendapatkan dua jawaban.
Jam istirahat atau pulang.
Untuk memastikan hal tersebut, gadis itu bangkit. Ia berjalan melewati bangsal-bangsal putih lainnya yang sepi. Michelle membuka kenop pintu, lalu melirik keadaan sekitar.
Murid-muridnya tidak terlalu ramai, tapi kenapa suaranya begitu berisik? Pikir Michelle.
Michelle menyentuh punggung salah satu siswi yang lewat didepannya. Ia melirik kanan-kiri kemudian bertanya dengan nada dingin. "Ada apaan?"
"Setelah istirahat pertama, semua mata pelajaran jam kosong semua. Anak-anak basket pada mau latihan di tribun mereka." Gadis itu mengerutkan keningnya saat menyadari ada cairan lengket diujung bibir Michelle. Ia bergidik sesaat.
"Lo belom denger? Nanti pas cerdas cermat di Jogyakarta, anak-anak basket sama voli mau olimpic ke Semarang."
Michelle mengusap ujung bibirnya, "oh oke."
Gadis itu berlalu, meninggalkan Michelle yang tengah terdiam memikirkan kalimat yang baru ia dengar barusan. Seingatnya, salah satu siswa yang ikut olimpico ke Semarang, adalah Chiko. Hanya pria itu yang hobi bergelut dengan olahraga basket. Berbeda dengan Bintang yang lebih sering mengandalkan otak, sahabatnya yang satu itu justru menyukai olahraga.
Michelle tertawa singkat, kemudian ia ikut melangkahkan kakinya menuju tribun basket yang dimaksud. Lapangannya cukup luas, terdapat tempat duduk penonton yang melingkar. Di pinggirannya, dipasang besi untuk melindungi hal-hal yang tidak diinginkan.
Michelle membangun sekolah Gennaios sebagai sekolah elite yang bahkan tidak membutuhkan atap disalah satu gedung, seperti lapangan basket. Mereka mempekerjakan tenaga orang lain untuk membersihkan gedung itu setiap dua hari sekali, membuang sisa air hujan atau sampah-sampah yang berserakan.
Gadis itu berdeham, kemudian mendekati sesosok pria yang terlihat lebih menonjol dari siswa lainnya. Itu adalah, Chiko Revaldo. Wajahnya lebih tampan ketika memakai kaos berlengan pendek yang basah oleh keringat.
"Chiko ..." Panggil Michelle pelan. Kerumunan siswa tersebut langsung berhenti. Mereka tertegun melihat siswi yang belakangan ini menjadi topik populer disekolah.
"Ngapain lo? Pergi sana!" Chiko membentak, matanya yang sipit berusaha melotot garang. Ia mendorong paksa tubuh Michelle kebelakang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Butterfly
Fantasy[ FOLLOW AKUN PENULIS TERLEBIH DAHULU ] •••• Hidup Michelle Rissana terlalu keras. Jadi, sifat buruk dari dirinya adalah hasil dari sebuah proses rumit yang ia jalani. Tahap-tahap perkembangan itulah yang Michelle jadikan penopang guna menjadi kupu...