Butterfly | Bab 48

151 18 1
                                    

Bab 48. Rasa Cinta yang Besar Milik Bintang

 Rasa Cinta yang Besar Milik Bintang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

•••

Gadis itu jatuh beberapa kali, namun sebanyak itu pulalah Argus membantunya untuk bangkit. Ia terlihat berusaha untuk menyejajarkan langkah kakinya dengan Michelle yang berjalan cepat.

Michelle tidak menangis atau Argus yang tidak menyadari bahwa ada air mata di pelupuknya yang sayu.

Koridor sekolah sudah sepi. Bel tanda sudah mulainya jam pelajaran sudah berbunyi lima menit lalu, namun dua orang tersebut justru berlari meninggalkan kelasnya.

Pikiran Michelle sedang kalut. Berita kematian Bintang terlalu mendadak untuk ia dengar. Baru beberapa hari yang lalu mereka saling tertawa, tapi kini saat pria itu berpulang Michelle bahkan tidak mengetahuinya sama sekali.

Michelle menoleh saat tangannya di tarik paksa kebelakang, ia menoleh kemudian mendapati wajah Argus yang melihatnya kesal. "Gue bilang tunggu, Greta!"

Nafas Argus terengah-engah, dadanya naik turun seiring dengan butiran keringat dari pelipisnya yang tertutup rambut. "Lo mau kemana?"

Michelle mencengkram erat kerah baju yang pria itu kenakan. Nafasnya juga memburu, meskipun begitu ia tetap menatap bingung. "Gue barusan denger berita konyol kalau Bintang udah mati."

Argus diam seraya memberontak dari genggaman paksa pada kerah baju sekolahnya, yang semakin gadis itu kencangkan.

"Gue mau lihat pakai mata gue sendiri kalau apa yang Inez omongin itu beneran atau bohong." Setelah mengatakan itu, Michelle mendorong tubuh Argus. Ia kembali berlari, namun kembali di cekal oleh tangan pria itu.

"Bintang beneran udah gak ada! Kemarin Bu Nana ngasih tau berita duka ini begitu dapet kabar dari nyokap nya."

"Gak masuk akal. Dua hari lalu gue masih lihat Bintang sebelum gue pulang dari rumah sakit." Michelle memukuli dada bidang milik teman sekelasnya. "Pagi nya gue berniat jenguk lagi, tapi ... tapi gue gak jadi berangkat."

Michelle terisak, air matanya luruh bersamaan dengan pukulannya yang melemah. Argus langsung siap menopang tubuh gadis itu. Ia mengunci mulutnya rapat-rapat saat menyadari bahwa Michelle menjadikannya sandaran dari rasa lelahnya.

"Harusnya kemarin gue ke rumah sakit." Michelle menepuk-nepuk dadanya sendiri menahan sesak. "Gimana bisa, dia mati tanpa izin gue?!"

Saat Diana mati, Michelle bahkan tidak menangis seperti ini. Rasanya seperti air mata yang sudah dirinya tahan, luluh lantak berserakan kemana-mana.

"Oke ... oke ..." Argus menarik nafasnya dalam-dalam. "Sekarang lo mau kemana?"

Mendengar pertanyaan Argus, Michelle seperti tersadar oleh sesuatu. Gadis itu kembali bangkit, kemudian berlari kecil sebelum kalimat Argus menghentikan langkahnya.

ButterflyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang