Butterfly | Bab 46

139 15 0
                                    

Bab 46. Dilema

 Dilema

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

•••

Michelle sudah menaruh curiga pada saat ia kehilangan pendengarannya untuk pertama kali. Kejadian itu, terjadi setelah ia tenggelam dalam kolam renang.

Tak lama, rangkaian rasa sakit yang menghantui tubuhnya membuat Michelle menyadari bahwa ia sedang tidak baik-baik saja. Awalnya, Michelle ingin menolak pikiran buruk tersebut melalui kesibukannya menarik para tokoh dalam cerita.

Tapi, Michelle di tes. Ia harus terus-terusan menjalani rangkaian pemeriksaan aneh untuk diagnosis 'kelelahan' yang mereka katakan. Obat-obatnya semakin bertambah banyak, dan tiap kali Michelle lupa meminumnya Hanum akan menangis sepanjang hari memintanya menurut agar dirinya cepat pulih.

Adnan yang digambarkan sebagai pria cuek yang abai terhadap keluarganya, dengan perlahan merubah sikap itu. Ia menjadi sedikit peduli, dan terlihat sebisa mungkin untuk hadir saat istri dan anak-anak membutuhkan dirinya.

Setiap kali Aris menemaninya di rumah sakit, pria itu selalu mengatakan hal-hal positif agar Michelle menyadari usaha orang tuanya yang sungguh-sungguh.

Tiap hari, kepalanya kian sakit. Badannya remuk redam, tulang-tulangnya seperti di peras oleh benda tak kasat mata. Michelle selalu ingin mensugesti dirinya baik-baik saja, tapi ia merasa tidak bisa.

Ia pikir, inilah karma yang di dapat atas hal buruk dalam mencuri tubuh Greta.

Tapi, kini ia mengerti.

Greta adalah tokoh protagonis wanita dalam cerita. Ia di tuntut untuk selalu menjadi sosok yang baik, ramah, dan pemaaf. Saat itulah Michelle menyadari bahwa dalam diri seorang Greta Chelsea Falisha, terdapat jiwa ringkih yang kelelahan akan perannya tersebut.

Tidak tahu cara menangis adalah kebiasaan yang sudah lama tidak Greta lakukan. Michelle penasaran kemana perginya air mata itu, hingga pada akhirnya ia mengetahui bahwa air matanya berubah menjadi gumpalan sel abnormal yang tumbuh di kepalanya.

Greta bukanlah sosok protagonis yang sempurna. Ia tetaplah sosok gadis lemah yang kapan saja bisa luluh lantak.

Michelle menciptakan karakter Greta tanpa cela, sampai setelah ia sadari itu adalah bahaya paling mematikan dari dirinya.

Kini, ia harus menggenggam rasa sakit tersebut sampai kapanpun ia bernafas. Menahan rasanya karena Michelle merasa tidak pantas untuk mengeluh mengenai raga lemah yang bukan miliknya.

Gadis itu menghela nafasnya dengan panjang, film sudah berakhir pada sepuluh menit yang lalu. Dan ia sekarang masih tengah berada di sofa ruangan. Adnan dan Hanum sudah lebih dulu masuk kedalam satu kamar. Menyisakan keheningan antara Michelle dan Aris yang sama-sama menatap kosong pantulan gambar dari layar proyektor.

Ini adalah waktu yang tepat bagi mereka untuk bicara. Tapi dari Michelle ataupun Aris, sama-sama tidak berniat melakukan hal tersebut.

"Papa bilang, lo jangan sekolah dulu sampai kesehatan lo bener-bener pulih." Aris membuka suaranya. Pria itu bangkit, seraya membereskan sisa-sisa bungkus snack di meja. "Mama secara khusus udah minta izin langsung ke guru lo."

Michelle mengangguk, "besok gue juga mau jenguk Bintang lagi."

"Gak." Jawab Aris cepat. "Lo jangan dulu keluar rumah sampai Bintang udah siuman."

"Kenapa?" Michelle bertanya heran. Apakah Aris juga ikut-ikutan seperti Inez yang membatasinya untuk berteman? "Gue mau keluar bukan urusan lo."

"Urusan gue, Greta." Aris menghentikan gerakan tangannya. Ia menatap wajah Michelle dengan jengah. "Gue kakak lo."

Gadis itu sontak mencibir, "besok gue minta susul Kenzo."

"Jangan ganggu Kenzo, besok dia sekolah."

"Kalau gitu gue tinggal nunggu dia pulang sekolah." Michelle menjawab ringan. "Apapun itu, gue pasti bakal tetep berangkat jenguk Bintang di rumah sakit."

"Greta, stop bikin kita khawatir!" Aris membanting kumpulan plastik yang sudah ia genggam, jatuh ke lantai dengan ringan. Ia terlihat jengkel, dan Michelle tidak peduli melihatnya. "Gue harus bilang berapa kali biar lo bisa nurut?"

Michelle memutar kedua matanya hiperbolis. Tak menghiraukan kalimat Aris yang berapi-api, gadis itu segera beranjak dan meninggalkan ruang keluarga yang beberapa saat lalu masih ramai.

Michelle muak dengan semua sikap otoriter yang orang-orang lakukan padanya. Namun disisi lain, ia juga sangat bersyukur oleh perhatian yang diberikan.

Michelle sedang dilema.

Ia tahu bahwa apa yang Aris katakan adalah sebuah kebenaran mutlak yang tidak bisa Michelle abaikan saat ia pun dalam kondisi yang seperti ini. Tapi soal Bintang, ia harus menemani pria itu disaat masa-masa sulitnya.

Karena Bintang hadir saat Michelle sakit. Pria itu jugalah yang mau mengajarinya pelajaran yang sebelumnya tidak pernah Michelle pahami. Peran Bintang sangat berarti bagi dirinya. Sosok itu yang mampu membelanya bahkan saat Michelle tidak percaya dengan dirinya sendiri.

Michelle segera merebahkan kepalanya di bantal empuk kamarnya. Jam sudah menunjukan pukul setengah sembilan, malam sudah semakin larut tapi Michelle masih terpaku pada mading kecil kamarnya.

Tidak ada yang istimewa disana selain foto Dion dan jadwal mata pelajaran kelas. Tapi, itulah yang justru menarik atensi Michelle untuk tetap terus menatap.

Apakah ini pilihan yang tepat bagi Michelle untuk menjauhi sosok pria itu? Dion adalah pemeran utama pria dalam cerita ini. Memang sangat sulit untuk menolak feromonnya, karena terlebih lagi sosoknya yang sangat mirip dengan wajah Chandra. Tapi, apakah benar itu yang Greta mau?

Greta sangat mencintai pria itu, sungguh. Bahkan di akhir cerita, ia merelakan dirinya untuk mati agar kekasihnya bisa hidup dengan bahagia.

Namun Michelle merombak cerita besar-besaran karena keegoisannya yang muak melihat wajah Chandra dalam tokoh tersebut. Ia lebih memilih tidak ingin bersama siapapun sampai novel ini berakhir.

Mungkin, karena alasan itulah Michelle di kutuk. Jalan cerita semakin bergerak tidak karuan, membelot dan merubah genrenya sendiri.

Bintang adalah tokoh pertama yang menjadi peringatan atas kesombongan dirinya sendiri.

Michelle meremas ujung rambutnya sendiri. Kepalanya tiba-tiba saja menjadi pusing. Nafasnya sesak dan cairan keringat sebesar biji jagung keluar dari pelipisnya yang putih.

"Inez ..." Monolog Michelle sendiri. "Gue gak bakal maafin lo sampai terjadi sesuatu sama orang-orang gue."

Inez benar-benar serius dalam menjalankan perannya. Di antara semua tokoh yang pernah bersinggungan dengannya, wataknya perlahan akan berubah. Contohnya seperti Kenzo, Dion, dan ketiga temannya yang lain. Aris, Hanum, bahkan Adnan yang memiliki sifat paling bajingan di antara yang lain.

Tapi Inez berbeda. Karakternya terbentuk kian cacat. Tiap kali Michelle menolaknya, jiwa tokoh itu semakin menghitam.

Berbanding terbalik dengan Bella yang kaca transparan, sosok Inez seperti tembok besar hitam yang bahkan cahaya pun tidak bisa menembusnya.

Michelle menelan saliva nya dengan kasar. Pikiran-pikiran buruk terus menimpa kepalanya yang berat. Pertanyaan-pertanyaan kalut terus melilit otaknya seperti arteri menggumpal yang tidak bisa Michelle urai.

Gadis itu menghembuskan nafasnya pelan. Ia mengedip beberapa kali sebelum akhirnya memutuskan untuk memasuki alam mimpi.

•••

ButterflyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang