Bab 31. Sakit (2)
•••
Michelle menatap langit-langit ruangan itu dengan pandangan kosong. Sudah lebih dari satu jam sejak Hanum dan Adnan meninggalkannya sendirian di bangsal rumah sakit.
"Jadi, lo harus di rawat ya?" Suara yang keluar dari balik pintu membuyarkan lamunan Michelle yang mengawang. Gadis dengan rona wajah pucat tersebut menoleh, melihat sosok Aris yang datang dengan membawa sekantung tas besar ditangannya.
"Bukannya lo kesini buat bawain baju-baju salin gue?" Michelle menjawab lemah. Ia berubah posisi tidurnya menjadi duduk dengan hati-hati, takut melukai tangan kanannya yang baru saja di infus.
Aris berjalan mendekat, pria itu meletakan kantung tas hitam yang ia bawa kesamping ranjang brankar rumah sakit. Masih dengan posisi berdiri, Aris mengatakan, "gue bener-bener beruntung udah selametin lo tempo hari lalu."
Michelle tidak membantah, ia juga merasa enggan mengucapkan kalimat terimakasih atas apa yang pria itu lakukan padanya.
"Papa harus pulang duluan buat ngabarin ngurusin kepindahannya dari London." Aris memutar tubuhnya, kemudian duduk pada salah satu sisi sofa yang berada pada ruangan.
"Jadi, dia mulai kerja di kantor sini?" Michelle bertanya heran. Mendapat anggukan dari Aris, membuatnya kembali memekik kecil, "kenapa?"
"Menurut lo?" Menjeda kalimatnya sesaat, "dia khawatir sama keadaan lo yang tiba-tiba jadi aneh, takut kejadian semalem bakal keulang lagi."
"Adnan? Khawatir?" Michelle sempat tertawa lemas, "kayaknya yang lagi sakit cuma bukan gue."
Pria itu melotot, "jangan asal ngomong, Ta. Dia udah berniat mau ngurusin kita aja, harusnya kita bersyukur."
Mendengar kalimat dari pria itu, Michelle tak langsung segera bersungut-sungut seperti biasanya. Sebaliknya, ia justru kembali terdiam mengunci suara.
Alur cerita novel ini, sedikit demi sedikit mulai membelot. Walaupun plot yang berubah memanglah bukan poin utama jalannya novel, tapi tetap saja Michelle merasa khawatir.
Tak ingin memikirkannya lebih lanjut, Michelle menggelengkan kepala dengan pelan. Mengusir pikiran yang akan membuat isi kepalanya sakit.
Keadaannya sudah jauh lebih membaik. Michelle sudah tidak terlalu merasakan pusing berlebih seperti beberapa saat lalu.
Aris berdeham canggung. Pria itu kembali bangkit untuk mengambil salah satu selimut yang ia bawa dari tas nya. Menukar kain tebal tersebut untuk dipakai Michelle—sedangkan yang lebih tipis ia bawa menuju sofa panjang tempatnya duduk untuk ia kenakan.
"Udah malem, Ta. Mending lo istirahat lagi."
Michelle lagi-lagi tidak menjawab, meskipun begitu ia tetap menuruti perintah Aris yang sudah lebih dulu memejamkan matanya.
Gadis itu berkedip beberapa kali, ia tidak mengantuk tapi, tetap mencoba berusaha masuk menyelami ke dalam alam mimpi. Menutup mata, membiarkan keheningan memenjarakan keduanya.
•••
Tidak pernah Michelle duga bahwa kejadian nahas itu terjadi begitu cepat. Meninggalkan rasa sakit yang baru ia terima akibatnya percobaannya tenggelam dalam kolam renang rumah.
Padahal, Michelle tidak berniat untuk bunuh diri. Tapi, ketika orang-orang disekitarnya mengatakan sebaliknya, Michelle mulai dilingkari oleh keraguan atas dirinya sendiri.
Apakah yang sebenarnya Michelle inginkan adalah kematian? Keputusasaan apa yang membuat pikiran buruk itu menguasainya?
Kini, jam sudah menunjukan pukul sepuluh siang. Tapi, handphone miliknya tak juga berhenti bergetar, kiriman pesan mengenai alasan ketidakhadirannya gadis itu.
Ponselnya kembali bergetar, denting suara notifikasi dari benda tersebut pada akhirnya menarik atensi Michelle untuk melihat si empunya pengirim.
Inez terus-menerus bombardir mengirim pesan.
Dapat langsung Michelle tebak, bahwa Aris adalah pelaku utama mengapa Inez bisa mengetahui Michelle berada di rumah sakit hari ini.
Deretan pesan atas nama gadis itu memenuhi room chat tersebut. Michelle mendengus kasar, namun tetap membalasnya walaupun dengan satu bar kalimat, memberitahu tempat ruangannya berada.
Michelle merasakan keheningan begitu lama. Perutnya mual namun tenaganya seolah habis hingga membuatnya tidak dapat pergi ke kamar mandi. Sudah beberapa jam setelah Aris pergi sekolah. Wajah Hanum dan Adnan pun, tidak lagi Michelle lihat setelah kejadian semalam.
Pintu kamar terbuka, sosok asing berpakaian jas doktor masuk bersamaan dengan dua perawat dibelakangnya. "Greta, gimana keadaannya sekarang?"
Pria yang memakai name tag berwarna putih, dengan tulisan dr. Seno Mahatma tersebut bergerak maju seraya memakai stetoskop miliknya. Menyentuh benda tersebut ke dada dan perut Michelle, kemudian bertanya dengan nada halus, "apa yang dirasain?"
Michelle menggeleng singkat, "mual." Jawabnya.
Seno mengangguk-anggukkan kepalanya seolah mengerti, "nanti siang kita CT scan sebentar, ya?" Itu bukanlah pertanyaan karena mereka tau kalimat tersebut adalah perintah mutlak yang diperhalus.
Michelle terdiam beberapa saat kemudian bertanya, "Mama kemana?"
Panggilan tersebut masih terasa asing di mulutnya. Meskipun begitu, ia tetap menimpali pertanyaannya dengan pertanyaan baru, "ini kapan gue bisa pulang?"
Seno terkekeh kecil, ia menepuk-nepuk puncak rambut Michelle yang lengket. "Secepatnya kalau Greta mau nurut apa kata saya."
Michelle tidak lagi menjawab. Sedangkan dua perawat di belakang pria itu, mulai bergerak memasangkan alat yang ia ketahui bernama tensimeter pada lengan kirinya.
Seno melanjutkan, "kemarin kata Mamanya, Greta sempet tenggelam di kolam, ya?"
Michelle mengangguk lemah, "parah banget ya, sampai harus di rawat gini? Gue mau ikut olimpiade seminggu lagi."
Seno terlihat kebingungan, namun raut tersebut langsung ia tepis beberapa saat.
Pria berwajah tampan itu menghembuskan nafasnya, auranya terlihat sangat lembut hingga membuat Michelle bertanya-tanya apakah pria ini adalah sosok tokoh dalam sebuah cerita yang lain?
Menghiraukan asumsi tersebut, Michelle kembali membuka suaranya, "boleh minta tolong anterin ke kamar mandi?"
Seno mengangguk, pria itu memberikan tatapan isyarat kepada salah satu perawat yang berada disana. Kemudian tubuh Michelle di bopong dengan hati-hati.
Mual sekali.
Michelle muntah begitu lama hingga membuat kepalanya kembali sakit. Ia menangis tanpa suara karena perutnya seperti di aduk-aduk, dirinya sangat kelelahan karena tidak tahu harus berbuat apa dengan kondisinya saat ini.
Begitu merasa sudah lebih baik, gadis itu kembali melangkah pelan, lalu duduk di samping ranjang. Kakinya terasa sangat lunglai dan tangannya sedikit nyeri. Michelle menunduk dan menyadari bahwa selang di tangan kanannya mengeluarkan sedikit darah.
Gadis itu mendongak untuk melihat wajah Seno yang masih memandanginya lamat-lamat. "Kenapa?" Tanya Michelle sinis.
Seno salah tingkah, kepalanya menggeleng singkat. "Semoga cepet sembuh ya, Greta."
Pria itu berdeham kecil, lalu mengangguk tanpa alasan. "Kalau gitu, saya keluar, ya. Kamu istirahat dulu, kalau butuh apa-apa bisa langsung tekan emergency button ini." Seno menunjukan tombol disebelah ranjangnya.
Pria itu kemudian berjalan keluar, diikuti oleh dua perawat lainnya. Meninggalkan Michelle dengan pikirannya yang kalut.
•••
KAMU SEDANG MEMBACA
Butterfly
Fantasy[ FOLLOW AKUN PENULIS TERLEBIH DAHULU ] •••• Hidup Michelle Rissana terlalu keras. Jadi, sifat buruk dari dirinya adalah hasil dari sebuah proses rumit yang ia jalani. Tahap-tahap perkembangan itulah yang Michelle jadikan penopang guna menjadi kupu...