Bab 19. Pulang
Michelle menatap layar ponselnya yang terus-menerus berkedip.
Muak dengan kebisingan, Michelle bangkit dari tempatnya duduk. Menghiraukan lima pasang mata yang melihatnya dengan raut bingung.
Kenzo membuka suaranya, "lo yakin?"
Michelle tidak menjawab, bukan karena ia muak dengan empati yang orang lain berikan. Namun, ia sendiri tidak yakin apakah menghadapinya adalah pilihan yang baik?
Meskipun begitu, Michelle tetap berjalan lunglai menjauh dari kelima orang tersebut. Memilih pohon beringin sebagai tempatnya berteduh dan mengangkat telepon.
"Kenapa?"
Aris di sebrang sana terdiam beberapa lama kemudian menjawab pertanyaan Michelle dengan pertanyaan baru, "harusnya gue tanya lo kenapa, Ta?"
Michelle tertawa ringan, "kocak lo! Lo yang nelfon tapi lo nanya, gue kenapa?"
Michelle bisa mendengar Aris menghela nafasnya dengan berat di sebrang sana. Meskipun begitu, ia tidak juga bersuara. Membiarkan keheningan menyapa mereka masing-masing.
"Kita semua bingung sama sikap lo yang tiba-tiba aja berubah." Aris memecah keheningan, "kalau ini soal Papa, gue bisa ngerti, Ta. Tapi gak seharusnya lo bisa bersikap kayak gitu."
Michelle tidak juga menjawab. Ia membiarkan Aris bicara mengenai keluhannya.
"Sedingin apapun mereka, mereka tetep orang tua kita. Sekarang, lo udah gak di rumah, lari dari masalah. Mau sampai kapan lo buat Mama sedih?"
Michelle tertawa kecil.
Apakah ini karakter Aris yang sesungguhnya?
Michelle muak. Ia semakin muak saat menyadari bahwa apa yang Aris bicarakan adalah sebuah kebenaran.
"Lo, gak tau apapun tentang gue, Ris." Michelle membuka suaranya. "Gue benci sama semuanya. Gue benci kenapa kalian bersikap seolah-olah gak tau apapun, gak bersalah, dan justru menyudutkan gue."
"Greta—".
"Gue sakit, Ris. Gue gak mau lagi memilih karena apapun yang gue pilih pasti selalu sama, dan kegagalan itu yang gue maksud."
Michelle terdiam, sejenak ia membiarkan matanya menarik atensi ke ulat hijau dengan garis-garis ungu dan merah terang. Pandangan tersebut mengalihkan perhatiannya untuk beberapa saat.
Berkedip, Michelle melanjutkan.
"Gue gak mau lagi mikirin soal masa lalu, yang sebenernya sekeras apapun gue coba buat lupain, tapi gak pernah bisa. Karena itu udah jadi trauma."
Merasa tidak lagi mendapatkan suara sahutan dari sebrang sana, maka dari itu ia mematikan ponselnya, kemudian berjalan menjauh dengan tenang.
•••
KAMU SEDANG MEMBACA
Butterfly
Fantasy[ FOLLOW AKUN PENULIS TERLEBIH DAHULU ] •••• Hidup Michelle Rissana terlalu keras. Jadi, sifat buruk dari dirinya adalah hasil dari sebuah proses rumit yang ia jalani. Tahap-tahap perkembangan itulah yang Michelle jadikan penopang guna menjadi kupu...