Jungkook berlari seolah kesetanan di lorong rumah sakit. Kaki panjangnya dengan lincah menghindari orang-orang. Tingkahnya memancing semua mata untuk tertuju padanya.Jungkook terengah sampai di depan ruang rawat khusus VIP. Ia bisa saja langsung menerobos masuk kamar nomor 903 itu, bukan para bodyguard berbadan besar penjaga kamar itu yang menghentikannya, melainkan seorang pria dengan mata elangnya menghunus tepat di manik rusa Jungkook, menatapnya datar.
Nafas Jungkook tersengal, matanya tidak fokus oleh rasa bersalah yang menumpuk. Keringat di sisi wajahnya terlihat jelas efek berlarian di sepanjang lorong rumah sakit besar.
"Ikut aku."
Jungkook hampir menggigil di tempat, suara dingin tepat merayap di seluruh kulitnya. Ia memandang sebentar ke kamar rawat sebelum mengikuti pria itu.
Angin malam berhembus cukup untuk mengacaukan surainya yang sudah berantakan. Sejuk dan menusuk, Jungkook merasakannya. Sejuknya angin segar malam di lantai teratas, dan menusuknya kemarahan yang ditahan.
Bugh!
Bugh!
Bugh!
Dugh!
Bruk!
Tulang kering Jungkook ditendang sampai tak kuasa untuk menahan berat tubuhnya. Kedua lututnya menghantam cukup keras lantai rooftop. Sudut bibirnya robek, hidung mancungnya bahkan kebas karena hantaman kepalan tangan pria itu.
Perutnya seolah terjerat ngilu. Dia bisa saja membalas, dia mampu untuk itu. Tapi Jungkook akan merasa sangat tidak tahu diri jika sampai melakukan itu. Dia tahu memang ini yang harus diterima sebagai makan malamnya.
Tes. Tes.
Jungkook bergeming, menatap kosong tetesan darah yang bersumber dari hidungnya. Ini tidak seberapa baginya, dibandingkan harus mengingat lagi tangis kesakitan Yoongi karena kebodohannya.
"Jika semuanya memburuk, kau pasti sudah mati di bawah kakiku."
"Tidakkah kau sadar untuk berpikir dahulu puluhan kali sebelum bertindak? Kau si ceroboh paling bodoh yang pernah kukenal.
Aku tidak peduli semua masalah yang kau buat, tapi mengenai Yoongi, kita sudah berjanji.""Tidak masalah untuk menjadi brengsek, tapi untuk menjadi bajingan yang tidak menepati janji kau bahkan pantas berada di ranjang itu menggantikan Yoongi."
"Aku menyesal. M-maafkan aku, Taehyung."
Taehyung meludah, tepat di depan Jungkook yang menundukkan wajah.
"Salah jika kau mengucap maaf padaku. Bahkan kuharap Yoongi tidak akan memaafkanmu untuk kecerobohan mu kali ini, Jeon."
"Aku... diluar kendaliku."
Taehyung mendecih, ia berbalik menjauhi ke tepi pembatas rooftop. Mengepalkan kedua tangannya diatas beton pembatas, melepaskan semua ketakutannya lewat hembusan nafas yang tersapu angin malam.
"Kau memang tidak pernah mencoba mengendalikan diri."
"Aku tidak pernah merasa... sangat menyesal seperti ini." getar dalam nada Jungkook bukan karena dinginnya atmosfer, tapi dari bendungan rasa bersalah yang mengisi dadanya.
"Kau harus."
Taehyung memejamkan mata, membiarkan desau angin membelai permukaan wajahnya, menggoda surainya untuk menari.
Hatinya sejak tadi seolah dihimpit batu besar, berat baginya untuk bernafas tanpa setiap lembaran kecemasan terbentang di depan matanya.
"Setidaknya pikirkanlah semua kemungkinan terburuk meski satu persen sekalipun, sebelum mengikuti bisikan di kepalamu itu. Kau bukan lagi pemuda yang mengikuti insting, kau pria dewasa yang mengikuti logika dan berpikir rasional. Bukan keuntungan, tapi kerugian yang harus diperkirakan lebih dulu."
Jungkook mendongak dengan mata redupnya menatap punggung Taehyung.
"Jungkook, jangan membuatku meragukanmu."
"Taeh—"
"Taehyung."
Taehyung menghembuskan nafas berat yang kesekian. Dia tidak harus berbalik untuk menanggapi.
Seorang pria berdiri di depan pintu rooftop, kedua tangannya tersimpan di kantong celana bahan. Matanya menatap iba Jungkook yang masih setia berlutut dengan punggung rapuhnya.
Dia belum mengerti semua yang terjadi tiba-tiba hari ini, dan dia perlu untuk mendapat penjelasan.
"Namjoon... bawa Jungkook dan obati dia."
Jungkook sedikit susah untuk berjalan normal, tulang keringnya seakan remuk oleh tendangan Taehyung.
Ia menunduk menyembunyikan wajahnya dari siapapun disana. Tidak membuka mulut saat dipapah oleh kakaknya sendiri meninggalkan rooftop yang berkali lipat terasa lebih dingin.
"Jelaskan duduk perkara keributan yang kau timbulkan sampai aku sendiri yang harus turun tangan."
"Aku bisa melakukannya sendiri."
"Kau bisa, tapi tidak kau lakukan."
"Sepertinya kau ingin aku mengetahuinya sendiri—"
Taehyung menyela, "Hyung. Bukan waktu yang tepat untuk mengatakannya sekarang."
"Kau membuat keributan di rumah sakit dengan membawa seorang anak laki-laki yang mengalami pendarahan, berteriak layaknya kau akan kehilangan keturunan—"
"Kau sadar siapa dirimu dan apa dampaknya, telinga tidak bisa memilih apa yang ingin didengar sedangkan mata melihat apa yang ingin dilihat. Semua menyebar seperti angin, kau membuat kehebohan. Tidak masalah jika seluruh rumah sakit ini dibungkam, tapi setidaknya beri aku alasan, yang bisa diterima."
"Dia Yoongi, mengalami pendarahan setelah Jungkook melakukan seks anal dengannya." lirih Taehyung.
"Jungkook melakukannya?" tanya Seokjin.
Taehyung tidak menjawab, obsidiannya menatap kosong jalanan kota Seoul. Taehyung tahu kakaknya itu pasti mengerti tanpa dia harus menjelaskannya.
"Oke, semuanya sudah ku urus, jika terjadi sesuatu itu sekarang urusanmu. Aku pulang, aku menunggu penjelasanmu nanti."
"Terima kasih, Seokjin hyung."
Setelah kiranya bisa berpikir lebih jernih Taehyung kembali ke ruang rawat Yoongi. Pukul tiga dini hari dan Jungkook setia menunggu Taehyung mengijinkannya menemui Yoongi.
"Dia sudah ditangani."
Jungkook bergumam samar sebagai tanggapan. Mimisannya sudah berhenti, luka di sudut bibirnya juga sudah diobati.
"Syukurlah."
Taehyung melirik penampilan Jungkook, dia terlihat kacau, rambut blonde yang biasanya tertata rapi kita terlihat berantakan. Ia bisa melihat penyesalan yang membayangi Jungkook.
Taehyung berdiri, tanpa menatap Jungkook ia berbicara. "Ayo masuk."
Yoongi terbaring dalam tidur damainya, selang infus terpasang di tangannya. Ia tertidur dalam balutan seragam rumah sakit.
Jungkook duduk di samping ranjang Yoongi, menggenggam sebelah tangan Yoongi yang dingin.
Mata rusanya bergetar, terbayang wajah kesakitan dan air mata di wajah Yoongi. Betapa dia sungguh menyakiti pemuda manis ini.
"Kita sudah berjanji, bahwa tidak akan memaksa jika dia menolaknya."
"Aku tahu..."
"Kuharap kau tidak mengulanginya lagi. Sekali saja dan kau tidak akan pernah memiliki Yoongi."
Taehyung tidak hanya sedang mengancam, dia memberi peringatan keras kepada Jungkook. Dia mencintai Yoongi, meski Jungkook sekalipun sekali lagi menyakiti Yoongi tidak akan dia biarkan.
"Yoongi..."
Suara Jungkook bergetar, entah sejak kapan air mata menetes dari jelaganya. Kedua tangannya melingkupi tangan Yoongi, mencoba memberinya kehangatan.
"Aku mencintaimu... maafkan aku..."
Taehyung memilih keluar, memberikan waktu untuk Jungkook. Besok Yoongi akan sadar, dan dia menunggu keputusan Yoongi.
Pun jika Yoongi memintanya membalas Jungkook, maka akan Taehyung lakukan tanpa syarat.
KAMU SEDANG MEMBACA
•𝐌𝐀𝐈𝐃• -𝐘𝐨𝐨𝐧𝐠𝐢 𝐟𝐭 𝐓𝐚𝐞𝐤𝐨𝐨𝐤-
Fanfiction-Yoongi tidak pernah menyangka keputusannya menjadi maid untuk pasangan paling berpengaruh di negerinya justru menjungkir balikkan dunianya.