Aku merindukanmu, al. Tuturku dalam hati.
Deru ombak yang bergulung berkejaran seakan berlomba mengatakan bahwa mereka juga merindukanku. Merindu pada aku yang juga tengah dirundung rindu padamu, yang sudah tak mampu aku rengkuh.
Sebenarnya aku pernah benci pada laut atau pantai, bahkan langit jingga. Ya, langit jingga yang sangat kau damba itu. Aku tak membencimu, sungguh, mana mungkin aku mampu. Aku hanya tidak mampu menerima kenyataan, tentang kamu yang kini jauh dariku.
Hari-hariku sekarang terasa hampa, Al. Tanpa kamu, senyummu, tawamu, candaan konyolmu, rayuanmu, serta kamera kesayanganmu. Setiap kali aku mendatangi pantai, sesak berebut memenuhi diriku, lalu entah karena apa, aku akan berakhir menangis sendu.
Kau tahu? Aku hilang arah, Al. Dulu, kau selalu memberiku harapan baru untuk tetap berpijak di bumi. Namun kini, untuk apa aku bertahan? Untuk siapa? Sedang kau yang ingin aku temani saja sudah tiada.
Senja hari itu amat mempesona. Perpaduan warnanya membuat laki-laki itu enggan mengalihkan pandangannya. Membuatku merasa sebal karena merasa terabaikan.
"Mau sampai kapan mendamba senja-nya, Al?!"
"Kamu cemburu?" Nadanya terdengar mengejekku.
Aku membuang muka. Semakin kesal karena tak mampu menampik pertanyaannya. Lagipula aneh sekali aku cemburu pada langit, senja lebih tepatnya, perempuan lain kan, cemburu pada sesama perempuan juga.
"Ra, sepuluh tahun ke depan kamu ingin jadi apa?" tanyamu tiba-tiba, memecah keheningan, suaramu jauh lebih merdu mengalahkan deburan ombak yang rusuh.
"Mmm," aku berpikir, cukup lama. "Nggak pernah mikirin hal itu, aku, Al." Aku bingung, lalu menatapmu. "Kalau kamu?"
"Aku ingin tetap bersamamu. Seperti saat ini. Memelukmu dan mendengar semua ceritamu seperti biasanya."
Aku menautkan kedua alisku yang tak tebal, "Memangnya nggak bosan?"
"Bosan kenapa?"
"Terus mendengar ceritaku bahkan sampai sepuluh tahun nanti," aku memberi sedikit jeda, "Lagipula, kamu yakin sepuluh tahun ke depan aku masih mau sama kamu, yang cerewet ini?" ujarku diselingi tawa, ada canda dalam kalimatku, dan aku tahu kamu juga tahu itu.
"Aku nggak akan pernah jenuh dengerin kamu cerita, Ra. Ceritamu menarik, segala pemikiranmu juga menarik, aku suka, terutama sama kamu," tutupmu seraya menatapku sambil memamerkan lesung pipimu.
Setelah itu, kita kembali membisu. Tenggelam dalam pikiran masing-masing. Aku larut dalam bayanganku tentang masa depan yang tadi kamu katakan, sedangkan kamu, sibuk menatapku dalam diam.
"Ra,"
"Iya?"
"Aku cinta kamu, sangat sangat cinta."
"Aku tahu, Al."
"Tapi kamu juga harus tahu, cintaku ini nggak berbatas. Bahkan meskipun raga kita jauh, atau kita nggak bisa saling memeluk lagi kala dihujam rindu, aku tetap cinta kamu."
Aku memandangmu kesal, "Kok, kamu bilangnya gitu, sih?"
"Kenapa memangnya? Aku hanya mengatakan kejujuran, biar, kalau nanti aku jauh dari kamu, kamu akan tetap tahu bahwa saat itupun aku masih dan akan terus mencintaimu."
"Gombal, tidak?"
"Menurutmu?"
Setelah itu tawa kita mengudara. Kamu merapatkan dudukmu padamu, memelukku dari samping dan lagi-lagi membisikkan kata cinta dengan merdu di telingaku.
Aku tertawa sumbang. Al, benarkah kamu masih mencintaiku? Kini aku mati rasa. Cinta, huh, aku benci akan kata itu. Aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk tak lagi merasakan cinta. Hatiku kosong, Al. Ia pergi bersamamu, ikut kemanapun kau tuju. Setengah jiwaku pun perlahan mati rasa, muak melihat dunia.
Kau tahu? Bukankah aku pernah bilang padamu. Aku benci perpisahan. Aku enggan, namun kau justru berkata padaku, bahwa perpisahan satu paket dengan pertemuan.
Aku tak menyesal dipertemukan denganmu oleh Tuhan dan semesta. Aku juga tak menyesal karena amat mencintaimu. Aku hanya menyesal karena tak bisa ikut denganmu. Namun, bukankah aku akan tetap berakhir padamu?
Kulangkahkan kaki telanjangku pelan namun pasti, semakin mendekati ombak. Saat air bersentuhan dengan telapak kakiku yang dingin, aku merasakan deja vu. Seolah-olah perasaan yang selama ini aku cari tengah mendatangiku lalu memelukku.
Rambutku yang kini tak lagi panjang tersibak tersapu angin, gaun berwarna putih dengan panjang selutut yang membungkus tubuh kurusku juga berkelebatan.
Kini aku tak lagi di bibir pantai, menuju ke tengah laut yang lebih dalam. Kurasakan hawa dingin menjalar ke seluruh tubuhku, beku, sama seperti hatiku. Air kini sudah mulai membasahi perutku, terus naik hingga aku mulai kesusahan melangkah karena ombak terus menabrakku.
Al, gelap.
Telingaku seakan tuli, suara ombak yang bertubrukan memenuhiku. Nafasku mulai sesak. Seiring dengan penglihatanku yang memudar karena air mata yang mengalir deras, kurasakan kakiku yang mati rasa dan kram karena kedinginan.
Aku terombang-ambing, sendirian.
Bergerak semakin menjauhi daratan.
Aku tenggelam, dalam kehampaan.
"Al, aku tahu kau akan marah, bahkan Tuhan pasti lebih murka. Namun, ini memang yang aku mau. Meninggalkan segala duka yang membebaniku, lalu datang kepadamu. Aku benci dunia, Al. Hanya kamu yang perduli dan mau memberiku harapan, jadi, kupasrahkan diriku pada laut yang sangat kau sukai. Di bawah langit jingga yang selalu kau puja. Di tempat di mana pertemuan kita terjadi, aku memilih untuk memasrahkan diri. Aku menyerah Al, menyerah untuk terus berpijak pada bumi. Tunggu aku, mari kita bertemu dan kembali bercumbu seperti dulu."
Langit jingga berubah menjadi hitam. Awan mendung berarak disertai kilatan petir yang mengamuk. Tak berselang lama, langit menangis. Menghujam bumi, membasahi laut yang menelan seorang anak Adam yang hilang arah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aksara Rasa [ TAMAT ]
PoetryKamu akan hidup dalam untaian kata yang kuramu. Meski acapkali terasa sendu, namun seuntai rindu sering kutitipkan pada sajakku. Untaian kata yang mencari maknanya. Peringkat: #1 bijak [28 September 21] #5 caption #10 katahati # 54 sastra #60 curhat...