Cerpen : Semburat jingga, latar kisah kita.

19 13 0
                                    

•••

Kita adalah sepasang luka yang dipertemukan semesta untuk saling menyembuhkan dan kembali menorehkan luka yang lebih dalam.

•••

Pertemuan pertama kita, adalah salah satu hal yang tak pernah aku sangka. Semesta dengan begitu romantis membuat mata kita tak sengaja beradu pada detik ke sekian, menyebabkan detak yang tak mampu aku redam. Kita sama-sama malu dan menyembunyikan gurat senyuman, enggan mengakui rasa yang membuat kita terpaku selama beberapa menit. Aku masih mengingat dengan baik momen itu.

Deru debur ombak yang bergulung ke tepi, kepakan sayap burung yang membawa rindu menuju rumah, semburat jingga yang malu-malu di ujung mata, serta hilir angin yang mampu membuat jiwa tenang.

Kupejamkan mataku, menikmati hawa dingin yang merambat pada kedua kakiku yang mulai agak kebas. Pertemuan pertama kita, diiringi suasana romantis langit jingga, aku masih mengingat senyum manismu kala kau mengulurkan tangan seraya menyebut namamu yang membuatku candu. Lesung pipi yang terbit membuatku seperti tersedot ke dimensi lain, hingga kekehan yang keluar dari mulutmu membuatku ditarik kembali ke dunia nyata.

Obrolan basa-basi yang membuat kita melangkah beriringan di sepanjang tepi pantai, ditemani bulan yang mulai menampakkan diri meski masih malu-malu. Saat itu, aku sedikit heran pada diriku sendiri yang mampu menjadi cair saat bersamamu. Seperti bukan aku. Aku tak terbiasa terbuka pada orang baru, cenderung bersikap dingin hingga tak jarang membuat orang lain pelan-pelan menjauhiku.

Mengenalmu membuatku mampu mengenali diriku lebih dalam. Kau dengan sikap dewasamu mampu membuatku tetap dalam kendali saat tengah kalut. Aku benar-benar menyukai pelukanmu saat duniaku sedang tak baik-baik saja. Aku suka tepukan kecil yang kau daratkan di kepalaku saat tengah merasa gemas dengan tingkahku.

Hari ini aku kembali ke sini untuk yang kesekian kali. Tempat di mana kita sering berbagi cerita. Aku melepas sendal yang kupakai. Meletakkannya di pinggir pantai bersama tas dan barang-barangku. Dengan perasaan berat, aku melangkah pelan menuju air yang tengah memanggilku penuh kerinduan. Aku rindu suara deburan ombak ini, aku rindu semilir angin yang menerpaku.

Aku berhenti melangkahkan kakiku, membiarkan air laut membasahi dress yang kupakai. Kurentangkan kedua tanganku, seolah kau juga ada di sini-memelukku dari belakang. Ah, maaf ya, rambutku kini tak lagi tergerai panjang, aku memotongnya cukup banyak, kuharap kau tidak marah, sayang.

Datang ke tempat ini setelah banyak waktu kulewati, membuat luka yang selama ini aku sembunyikan kembali menyeruak. Perasaan sesak datang secara bertubi-tubi menghujaniku, dadaku sesak, aku mulai merasakan oksigen yang kuhirup berkurang. Tanpa bisa aku cegah, buliran air mataku berjatuhan deras menghujam pipi. Al, aku merindukanmu, sangat.


Aku yang tengah membaca buku mendadak jadi tidak fokus karena kehadiranmu. Dirimu lebih menarik daripada kisah roman tragedi yang tengah aku baca. Kau datang dengan sebuah plastik di tangan. Tak lupa senyum yang menampilkan lesung pipimu terbit saat netramu menangkap keberadaanku.

"Katanya masih lama, kok tiba-tiba udah nyampe aja si, Al," ujarku seraya terus memperhatikan gerak-gerikmu. Aku menerima bingkisan yang kau sodorkan. Ku intip, dan begitu melihat apa isinya, senyumku tak mampu aku cegah untuk merekah. "Kamu tahu banget aku lagi pengen makan apa," kataku agak lantang dengan suara bersemangat, tak lupa mulai mengeluarkan semua isi yang ada di dalam kantong plastik.

Kamu lalu mengambil duduk di sebelahku, sejenak menatap langit yang siang ini cerah namun teduh. Tanpa aba-aba mengelus rambutku pelan membuatku terperanjat, untung saja siomay yang hendak masuk mulutku tak jatuh ke tanah. "Jangan mangap gitu, nanti ada lalat masuk," ujarmu usil.

"Al, aku penasaran deh sama sesuatu," tanyaku tiba-tiba disela makan. Entah kenapa jika kita berdua berada dalam keheningan, otakku selalu saja usil melahirkan banyak pertanyaan. Mendapat respon darimu yang tengah menanti pertanyaan lanjutan, membuatku kian bersemangat. "Kenapa kamu bisa suka sama aku?" tanyaku, menatapmu penuh rasa ingin tahu.

Sementara dirimu justru tersenyum kecil. Mengambil teh botol less sugar lalu meneguknya sebelum menjawab pertanyaan ku. "Kalau aku bilang, aku nggak punya alasan buat suka sama kamu, aku yakin kamu bakal ngambek dan nggak percaya, kan?" tembakmu tepat sasaran. Benar, aku tak akan puas jika jawabannya begitu. "Aku awalnya cuma tertarik sama kamu Ra, tapi pas udah berteman dan kita semakin akrab, aku ngerasa kayak duniaku tiba-tiba berpusat ke kamu. Aku jadi pengen tahu semua hal tentang kamu," paparmu. Aku masih diam menyimak. "Dari yang awalnya peduli sebagai seorang teman, akhirnya aku malah jadi pengen selalu ada buat kamu, not as a friend," tegasmu.

"Bahkan setelah kamu tahu gimana hidupku dan masa laluku, kenapa kamu nggak milih buat pergi, Al?" tanyaku lagi, aku masih ingin jawaban lebih.

Kamu yang semula menghadap ke depan lalu merubah posisi menjadi menatapku sempurna. Perlahan kamu menggenggam tanganku yang kurus. "Ra, setiap manusia punya kekurangan, begitupun kamu dan aku. Anggap aja ini takdir, semesta mempertemukan kita di pinggir pantai waktu itu dan membuat kita akhirnya saling jatuh cinta. Aku nggak perlu lebih, Ra. Aku ngerasa cukup sama kamu," ujarmu seraya menatapku intens.

Al, andai kamu tahu. Aku juga mencintaimu-lebih besar-seperti kau mencintaiku. Pertemuan singkat kita yang membuat pertemuan-pertemuan lain, hingga sebuah kisah terajut. Kadang, aku begitu bersyukur atas diriku sendiri. Jika saja aku benar-benar menyerah di masa-masa sulitku dulu, aku tak akan mungkin dipertemukan dengan manusia sepertimu. Al, dengarlah, aku benar-benar bahagia memilikimu. Sama seperti yang kau rasakan, aku juga merasa cukup denganmu.

"Ra, kamu mau nggak inget satu pesan aku?" tanyamu di sela-sela keheningan kita kala menatap langit yang mulai berubah jingga.

Aku mendongak menatapmu, "Pesannya apa dulu, belum dikasih tau ya nggak bisa janji," ujarku.

"Meskipun ada waktu yang mengharuskan raga kita berjauhan, inget bahwa jiwa kita tetap menyatu. Di saat itu, kalau kamu ngerasa lagi susah atau pengen nyerah, selalu inget aku, ya? Ingat bahwa ada satu manusia di dunia ini yang sangat menyayangi kamu dan nggak rela kalau kamu menyerah sama hidup. Kamu berharga Ra, buatku dan dirimu sendiri," tuturmu panjang lebar.

Altair, aku menepatinya. Aku selalu mengingat pesan itu. Aku berhasil bertahan hingga hari ini, meski harus mengalami banyak kepayahan setelah kau jauh dariku. Berulangkali aku ingin menyerah karena merasa Tuhan tidak adil atas kita, tapi aku sadar, kau tak akan suka itu. Kuputuskan untuk terus hidup, Al. Demi dirimu, diriku sendiri, dan kisah kita.

End.

•••

Tokoh : Kejora dan Altair.

Note : cerita hanya fiksi, dan selesai dalam satu part.

16/Juli/2022

Aksara Rasa [ TAMAT ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang