Cerpen : Laki-laki tanpa nama.

15 12 0
                                    


Sebuah tempat asing menyambutku. Tempat ini didominasi oleh warna hijau, biru, coklat, dan putih. Aku menengok sekeliling, tak ada siapapun di sini kecuali diriku. Angin yang datang membuat rerimbunan pohon bergoyang. Rumput tinggi yang ada di sampingku mulai bergerak mengikuti arah angin. Masih dalam keheranan, kuputuskan untuk menepi mencari tempat yang teduh.

Mengapa aku tiba-tiba ada di tempat ini? Terakhir kali, aku tengah tidur di atas kasurku. Tempat apa ini? Kenapa tak ada siapapun?

Meski awalnya takut, namun aku agak terbiasa. Aku suka suasana sepi dan tenang ini. Hanya ada suara angin dan burung berkicau di kejauhan. Kudongakkan kepalaku, langit biru yang diselimuti awan putih di beberapa bagian bak permen kapas.

Aku menyandarkan punggungku pada sebuah pohon yang cukup besar. Ini membuatku kembali mengantuk. Saat mataku mulai sayup-sayup hendak kembali menjelajah mimpi, netraku menangkap sesosok manusia yang mendekat.

Laki-laki bertubuh tinggi tegap dengan kemeja putih dan celana krem itu berjalan semakin dekat ke arahku. Aku mengucek mataku beberapa kali, berusaha memastikan apa yang tengah aku lihat.

Kini jarak kami hanya tersisa dua meter. Aku mendongak agar bisa melihatnya lebih jelas, dengan tanpa berpindah posisi aku yakin dia adalah laki-laki itu. Ya, laki-laki tanpa nama yang beberapa kali bersinggungan denganku secara tak sengaja.

Saat aku masih menatapnya keheranan, dia justru tersenyum kecil menatapku sambil menyodorkan tangan kanannya yang entah sejak kapan sudah memegang seikat bunga krisan putih. Bak disihir, aku menerima bunga itu dan bangkit.

Kami saling bertatapan dalam diam. Entah kenapa, aku ingin waktu berhenti sejenak. Membiarkan atmosfer yang kami berdua bawa saling menyapa. Setelah lama membisu, aku tak kuasa bertanya.

"Kau, tahu aku?" Bodoh. Pertanyaan macam apa itu! Aku memalingkan muka. Merasa kesal atas mulutku yang kurang ajar. Yang sebenarnya ingin kulontarkan adalah, "Siapa namamu?"

"Tentu. Aku tahu dirimu. Bukankah kita sudah beberapa kali berpapasan?" Dia memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. "Aku tahu selama ini kau sering memperhatikanku saat di perpustakaan. Kupikir, menurutmu aku lebih menarik daripada puisi Sapardi yang ada di depanmu," ujarnya.

Sial! Aku bak ketahuan mencuri mangga milik tetangga. Aku malu! Kurasakan wajahku yang memanas. Ayolah! Kau tak boleh begini, kesempatan tak datang dua kali, kuteriakkan pada diriku sendiri dalam hati.

"Ah, maaf. Aku tak sengaja memperhatikanmu. Salahkan saja judul buku yang kau baca itu, jarang ada laki-laki lain yang sepertimu," elakku.

"Kamu percaya takdir?" Dia mengajukan pertanyaan yang tak terduga. Dengan posisi masih saling berdiri berhadapan, kuberanikan diri untuk menatap kedua matanya yang agak sipit.

"Di dunia ini sebenarnya tak ada yang namanya kebetulan, yang ada hanya takdir," jawabku mantap.

Dia terkekeh pelan. Sial! Lesung pipinya manis sekali, Tuhan! Dia hanya terkekeh saja aku sudah meleleh. Menyebalkan.

"Lalu, pertemuan demi pertemuan kita ... itu?" Mimik mukanya menyebalkan. Dia tengah memancingku.

"Entahlah. Bisa saja kita hanya dua manusia yang berpapasan dalam sebuah perjalanan yang disebut hidup." Sebenarnya bukan ini yang ingin kukatakan. "Sebentar, aku bingung. Kenapa kamu bisa ada di sini?" tanyaku, heran.

Dia tak menjawab. Dia justru melangkah maju dan melewatiku. Lalu duduk di bawah pohon yang tadi juga kujadikan tempat berteduh. Dia mengisyaratkan dengan tangannya, menyuruhku untuk duduk di sampingnya. Aku agak ragu, namun akhirnya menurut meski canggung.

Aksara Rasa [ TAMAT ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang