Cerpen : Tak pernah ada kita.

12 11 0
                                    

Papan nama besar yang terpampang dengan jelas, membuatku refleks melepas tangan yang sedari tadi kupegang. Binar kebahagiaan tak mampu aku sembunyikan. Luka serta kesedihan yang mendominasi diriku akhir-akhir ini mendadak lenyap.

"Raja! Ayok masukk!" teriakku pada Raja yang juga sedang tersenyum menatapku. Aku tak peduli meskipun mungkin sekarang Raja menganggapku seperti anak kecil. "Ayo buruan!" aku berlari kecil seraya menarik tangannya yang sempat aku lepas.

Raja tak berkomentar, dia hanya mengikuti ke mana langkahku beredar. Aku benar-benar bahagia. Raja membawaku ke taman hiburan yang penuh dengan wahana permainan, sebenarnya aku tak terlalu suka ketinggian. Hal yang kusukai dari tempat seperti ini adalah suasananya. Ramai, penuh suara kebahagiaan, banyak tawa riang anak-anak kecil, dan tentunya camilannya yang enak.

Setelah puas berkeliling dan mencoba beberapa wahana, aku menarik tangan Raja menuju gerai es krim. Sangat cocok untuk cuaca yang panas.

"Nih es krimnya tuan putri," ujarmu seraya menyerahkan es krim cokelat vanilla kesukaanku. Kamu lalu duduk di sampingku, menikmati es krim rasa stroberi vanilla. "Gimana sekarang perasaanya setelah ke sini?" tanyamu.

Aku memandang seorang anak kecil perempuan yang digendong ayahnya berjalan menuju gerai es krim yang ada di dekatku sebelum menjawab pertanyaanmu. "Aku ngerasa lega. Abis tadi teriak-teriak rasanya beban di pundak kayak keangkat, meskipun suaraku jadi agak serak," jawabku agak cemberut namun diakhiri kekehan.

Dalam hati aku sangat berterima kasih padamu, karena sudah membuatku lupa sejenak dengan segala beban yang tengah ada. Meski aku tak mengungkapkannya, aku yakin kamu tahu. Karena dirimu memang begitu. Selalu tahu aku, tanpa perlu ada kata yang terucap lebih dulu.

"Abis ini ke mana lagi?" tanyaku antusias, menatapmu penuh harap.

"Ya, pulang lah. Ke mana lagi? Nanti kamu dimarahin gara-gara pulang telat gimana?"

Aku menatap awan yang berwarna biru dengan sendu, "Aku ngga mau cepat-cepat balik ke rumah, rasanya sesak, Ja."

•••

Langit adalah hal yang sangat aku sukai. Menatapnya membuatku merasa tenang. Malam ini, bulan bersinar terang dengan bentuk bulat penuh, tak lupa ditemani bintang yang berpendar meski beberapa terlihat redup. Suasana malam sama seperti kamu saat hanya berdua denganku, tenang, hangat, dan selalu jadi pendengar. Sangat berbalik dengan sifat yang selalu kau tunjukkan di depan banyak orang, cerewet, rusuh, dan sesekali bersikap konyol disertai kalimat humor. Aku suka sisi dirimu, semuanya.

"Jangan ngelamun, nanti kalau kesambet aku nggak mau ngeruqyah" celetukmu yang tiba-tiba datang dari arah belakang seraya membawa nampan. Dua cangkir teh hangat serta camilan, hal yang tak pernah kamu lupakan untuk momen seperti ini.

Lama kita sama-sama ditelan keheningan. Hanya sibuk menatap langit malam sambil sesekali menyesap teh yang melegakan tenggorokan. Aku tahu, sebenarnya diammu adalah caramu membuatku berbicara lebih dulu saat sedang tak baik-baik saja, seperti biasanya.

"Lebih baik aku gimana, Ja?" tanyaku guna memecah keheningan yang mulai terasa beku.

Kamu tak menatapku, menyembunyikan sorot matamu yang kuyakin tengah sendu. "Ya, ikutin kata hati kamu aja, Ta. Lagipula sebentar lagi kita bakal lulus dan mungkin bakal terpisah jarak, kan?"

Aku menggeleng tak setuju. Aku tak ingin jauh darimu. Sungguh. Aku tak peduli sebagai apa aku di matamu. Yang aku mau, kau selalu dalam pandanganku, berada dalam radarku. Itu, hanya itu.

"Memangnya kamu sama Adam udah bener-bener selesai?" lanjutmu, menanyakan sesuatu yang membuat mood-ku kembali anjlok jatuh ke dasar jurang. Mendengar namanya saja aku benci.

Aksara Rasa [ TAMAT ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang