Cerpen : Dia, Raja Semesta.

14 12 0
                                    

POV Amerta.

Namanya Raja Semesta. Terdengar angkuh? Haha, tenang saja. Itu hanya nama. Dia adalah sosok yang hangat dan sangat peduli padaku. Sosok yang konyol, humoris, dan bertekad kuat di mata orang-orang. Dengan apa aku harus menyebutnya? Jika malaikat tak bersayap memang ada, maka akan kusebutkan dengan lantang bahwa itu dia, Raja-ku. Sosok malaikat pelindungku. Yang akan memelukku saat aku menangis. Menatapku dengan teduh dan penuh kasih saat aku sedang antusias bercerita. Menggenggam tanganku saat aku kehilangan arah. Menghapus air mataku saat laki-laki lain melukaiku.

Jika hatiku sedalam samudera, maka hanya Raja yang mampu menyelam hingga ke dasarnya. Jika mimpiku setinggi cakrawala, ada Raja yang mampu membawaku terbang menggapainya. Saat aku begitu membenci semesta dan seisinya, ada dia, yang siap memberi seluruh isi dunia untuk gadis yang dicintainya.

Pertemuanku dan Raja dimulai saat kami mengenakan seragam putih biru. Menjalin kisah cinta ala remaja. Tertawa bahkan pada hal-hal yang sebenarnya kami tak tahu itu apa. Terpisah karena jarak memaksa kami berdua untuk rela. Lalu, dipertemukan kembali oleh semesta dan rencana baiknya.

Saat kembali melihatnya, hanya benci yang aku rasa. Namun ia terus menatapku penuh cinta. Memperlakukanku bak ratunya. Raja melindungiku, saat laki-laki yang aku cintai sepenuh hati menghancurkanku.

Semesta membuat kami kembali percaya pada cinta. Saat aku mantap untuk menatap masa depan bersamanya. Namun, bukankah rencana sering tak berakhir seperti yang diharapkan?

Aku dan Raja, dihadapkan pada kenyataan menyakitkan. Saat aku mendengar pertengkaran ibu dan bapakku, lalu mengetahui sebuah kebenaran yang mereka tutupi. Saat dia datang menemaniku untuk menemui Bunda yang tak lagi bisa bicara sejak kecelakaannya. Saat aku melihat ada rasa rindu, takut, dan luka dalam matanya. Saat ingatan-ingatan yang terhapus mulai menyakitiku kembali. Saat itulah kami tau, kami sedang saling menancapkan belati.

Ya, ternyata semesta sedang mempermainkan kami. Aku selalu ingin mengutuk semesta. Namun tak bisa. Karena Raja yang aku cintai, adalah semestaku.

Saat ingatanku kembali, aku tahu, ada kebenaran yang selama ini Raja tutupi. Ternyata, putusnya hubungan kami saat putih biru bukan semata-mata karena jarak Indonesia dan Swiss akan memisahkan kami. Saat itu Raja memilih pergi setelah mengetahui fakta yang disembunyikan ayahnya. Kami berdua sama-sama hilang ingatan saat kecil. Sebuah kecelakaan yang menewaskan banyak orang. Ternyata, aku dan dia pernah tinggal satu rumah dan memanggil seseorang dengan panggilan yang sama, Bunda.

Raja kembali dengan tekad menjagaku sebagai bentuk tanggung jawab terhadap adiknya. Ayahnya meninggal saat sudah kembali ke tanah ini. Sementara aku, hidup bersama keluarga lain yang memperlakukanku tak semestinya. Ternyata, itu karena aku bukan darah daging mereka.

Saat sama-sama tahu bahwa orang yang kami panggil bunda di masa kecil adalah orang yang sama, kami pun memutuskan mencari tahu yang sebenarnya. Menelusuri masa lalu dan orang-orang yang pernah ada di ingatan itu. Tentu tidak mudah. Berkali-kali aku ingin menyerah.

Anehnya, saat aku mengajak tes DNA Raja enggan melakukannya. Saat kami berdua mencoba mengajak bunda bicara, nihil hasilnya. Hingga suatu hari, Bunda pergi. Amat jauh hingga aku tak lagi bisa memeluk tubuh ringkihnya.

Aku hancur lebur, lebih dari yang sebelumnya.

Aku membenci takdir yang Tuhan berikan.

Aku muak pada kerumitan hidup yang tak kunjung ada titik terangnya.

Hingga akhirnya, aku tumbang. Tubuhku tak lagi bisa berlari hanya untuk memukul Raja yang mengusiliku. Aku tak mampu lagi berteriak pada Laras, sahabatku, ketika ia menggodaku dengan ucapan sembrononya. Aku tak bisa lagi memeluk mereka berdua.

Masalah dan luka yang datang bertubi-tubi, mempengaruhi sistem imunku. Penyakit dan keluhan yang selama ini aku sembunyikan dari mereka mulai melemahkanku. Hingga akhirnya, di suatu senja yang berkilauan, sebuah surat berlogo rumah sakit swasta menghancurkan seluruh hidup dan mimpiku tanpa sisa. Semua rencana yang aku dan Raja susun, tak lagi ada gunanya.

Ada sel kanker yang menggerogoti tubuhku. Rambutku mulai rontok helai demi helai. Tubuhku mengurus. Aku tak lagi ceria. Saat menatap Raja, hanya rasa sakit yang bisa aku berikan.

Hari demi hari aku lalui dengan ditemani rasa sakit yang tak jarang membuatku berteriak histeris. Tak hanya fisik, mentalku ikut terganggu. Luka batin yang aku pendam selama ini, membuahkan hasil.

Raja tak menyerah. Meski setiap pagi aku melihat matanya yang lelah kurang tidur, dia akan tetap tersenyum dan mencium keningku setiap pagi. Lalu siangnya, Laras akan berkata hal yang sama, "Sabar ya, Raja masih berusaha."

Bodoh sekali dia.

Aku mengusirnya, tapi ia tak bergeming.

Aku ingin dia berhenti. Tapi dia menulikan telinganya. Aku mau Raja mengejar mimpinya. Bukan mencari kebenaran tentang aku dan dia. Bukan menemaniku di rumah sakit setiap harinya. Bukan duduk diam di sampingku melihat senja. Bukan malah menggenggam tanganku setiap malam.

Namun, dia Raja Semesta. Tekadnya tak bisa aku hancurkan, terlalu kokoh.

Namun, ada sesuatu yang ia lupakan.

Waktu.

Waktu terus mengejarnya, menyeretku, dan merentangkan jarak antar kami berdua.

Di hari Raja membawa selembar kertas berisi kebenaran yang kami cari, di hari itu pula ia tak menemaniku tidur untuk selamanya.

Saat Raja berlari dengan senyum cerah di wajahnya. Aku justru kesakitan menyambut mautku. Hari itu, aku memilih menyerah pada rasa sakitku. Aku tak mampu lagi menahannya lebih lama.

Aku tau, hari itu Raja hancur. Seluruh dirinya lebur. Kertas yang ia bawa hilang sudah maknanya. Untuk apa kebenaran bahwa aku dan dia bukan saudara sedarah akhirnya ditemukan, jika aku malah memilih pergi meninggalkannya?

Raja, maafkan aku. Sungguh, maaf karena tak sempat mengucapkan salam perpisahan. Maaf karena tak sempat mengatakan aku mencintaimu dengan menatap mata teduhmu untuk terakhir kalinya.

Tapi aku sungguh bersyukur karena semesta mempertemukan kita.

Jangan lagi salahkan dirimu. Jangan salahkan siapapun. Ini memang takdir kita, Raja.

Tak perlu marah pada kenyataan. Berdamailah, agar aku bisa tenang.

Terima kasih karena selalu mencintaiku.

Aku senang, karena fakta bahwa ayah dan ibu kita berbeda, itu artinya kita tak melakukan kesalahan dan dosa seperti apa yang selama ini kita pikirkan.

Raja, nanti, akan kusampaikan pada Ayah dan Bundaku, bahwa kamu adalah malaikat pelindungku di dunia. Aku juga akan sampaikan pada Ayah dan Ibumu, bahwa putranya adalah seseorang yang amat sangat membanggakan.

Terima kasih, dan selamat tinggal. Cinta pertama dan terakhirku.

🥀 Pada senja terakhir yang aku tatap, ada kamu di antara semburat jingga yang menawan di ujung cakrawala. Kutitipkan surat berisi rasa cinta dan terima kasihku pada rembulan malam. Tataplah ia, selami damainya, dan temukan aku di dalamnya. Kini, biarkan rembulan-mu pergi menjauh dari semestanya. Biarkan jingga jadi penutup kisah kita yang menyakitkan. Bahagia telah kuukir dalam hati terdalam, sampai mati.🥀

Aksara Rasa [ TAMAT ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang