•
•
•Alhamdulillah, Nayla sudah sadarkan diri.
Meski sekilas, ia sempat mendengarkan percakapan Paman Salman dan Alex tadi.
Paman Salman menatap lega Nayla yang kini sudah kembali membuka kedua matanya.
"Syukurlah, kamu sudah sadar Nak," ucap Paman Salman sembari meletakkan kembali handphone Nayla di atas nakas.
"Mas Alex telpon ya paman?" tanya Nayla tidak ingin dihantui rasa penasaran atas dasar apa suaminya itu tadi menelponnya.
Paman Salman menganggukkan kepalanya sembari merespon sinis pertanyaan Nayla.
"Udahlah, lelaki kaya gitu ngapain masih kamu pikirin," jawab Paman Salman cepat.Untuk saat ini, Paman Salman merasa ogah membahas hal-hal yang menyangkut Alex.
"Udah, kamu fokus sama kesehatan kamu aja. Jangan mikir terlalu berat. Apalagi mikirin si brengsek Alex itu," jawab Paman Salman kemudian segera pergi mencari dokter yang berjaga dan mengabarkan bahwa Nayla sudah siuman.
Nayla memejamkan matanya sejenak.
Tak bisa dipungkiri, Nayla memang masih memikirkan suaminya.
Walau bagaimanapun, ia tetap ayah dari anak yang kini tengah dikandungnya.
Nayla tahu betul, bagaimana menjalani hidup tanpa sosok seorang ayah di sampingnya.
Ini yang menjadi beban pikirannya saat ini hingga kini ia terbaring di rumah sakit.
Nayla tidak ingin, nasib yang sama dalam hidupnya juga terjadi kepada anaknya kelak.
Ini bukan lagi bicara tentang cinta. Tetapi, demi kebaikan masa depan anaknya kelak.
Nayla berharap, jika suatu hari ini sudah tidak ditakdirkan lagi untuk bersama. Setidaknya, Alex tidak lupa akan kewajibannya sebagai seorang ayah untuk anaknya.
Apalagi jika mengingat kondisi paru-paru Nayla yang semakin menggerogoti tubuhnya.
Ia takut, jika suatu hari nanti. Ia lebih dulu pamit pergi sebelum anaknya tumbuh mandiri.
Seperti yang kita tahu. Seorang ibu akan rela melakukan apapun untuk kebaikan anak-anaknya meski nyawa kerap kali jadi taruhannya dan inilah yang sedang diusahakan Nayla untuk saat ini.
Merasa masih ada yang perlu dibicarakan. Nayla segera meraih ponselnya dan menelpon Alex.
Nayla masih menunggu dengan sabar, namun sayang. Telponnya tidak tersambung.
Ia semakin terlihat khawatir dan mencoba menelpon memakai nomornya yang lain.
Alex tersenyum kecut, saat melihat telponnya berdering.
Ia membuang napasnya kasar dan kembali menyiapkan mental jika Paman Salman Kembali memakinya.
"Iya, hallo," ucap Alex menjawab telponnya.
"Mas Alex, ini Nayla."
Alex menghembuskan nafasnya lega. Setelah tahu bahwa Nayla lah yang kini tengah menelponnya, bukan paman galaknya itu.
"Hmmm, ngapain lo nelpon gue?" tanya Alex kembali memasang wajah gengsinya.
Nayla berusaha bersikap sabar. Meski rumah tangganya baru seumur jagung. Nayla tahu betul bagaimana sifat suaminya.
"Bukannya Mas Alex ya yang tadi telpon?"Alex menaikkan sebelah alisnya.
"Ya terus? Lo ngerasa jadi orang penting cuma karena gue nelpon lo hah?" tanya Alex terdengar begitu ketus."Dah lah, nggak ada gunanya ngomong sama orang bego kaya lo," ucap Alex terlihat begitu kesal karena Nayla tak menjawab pertanyaannya. Justru malah membalikkan pertanyaannya.
Nayla mengelus halus dadanya perlahan-lahan.
Ternyata, dugaannya Nayla salah. Mungkin, Alex sedang gabut. Makanya ia iseng menelponnya. Bukannya karena peduli dan mengkhawatirkan keadaannya.
"Ya udah, aku tutup telponnya ya Mas. Jaga diri Mas Alex baik-baik," ucap Nayla dan hendak menekan tombol merah di handphonenya. Namun, Alex dengan suara bass-nya tiba-tiba mencegah Nayla menutup telponnya.
"Tunggu bentar," ucap Alex segera mencegah Nayla menutup telponnya.
"Lo sakit?""Nggak ko Mas. Cuma nggak enak badan aja. Mas Alex tahu dari paman ya? Makasih, udah peduli sama Nayla," ucap Nayla terlihat begitu bahagia.
"Dih, nggak usah ke-gr-an lo. Gue cuma mau ingetin. Jadi cewe, nggak usah manja."
Nayla membuang napas kasarnya.
Hampir saja ia dibuat melayang, karena setidaknya Alex sudah menaruh rasa empati dan perhatian terhadapnya. Namun, ternyata salah.
"Tenang aja. Aku nggak mungkin ke-gr-an ko mas," ucap Nayla merasakan sesak di dadanya.
"Aku tau diri."Tatapan Nayla saat ini terlihat begitu memilukan.
Kali ini, ia sudah tidak ingin lagi mengemis kasih. Sekalipun itu kepada suaminya sendiri.
Seseorang yang seharusnya menabur benih kasih untuknya.
Seseorang yang seharusnya memberikan rasa aman dan kasih sayang sebagai mana mestinya. Layaknya pasangan suami istri pada umumnya.
"Baguslah kalau lo tau diri," ucap Alex tersenyum angkuh.
"Nanti gue transfer. Masalah biaya, lo nggak usah khawatir."Nayla menggelengkan kepalanya tak setuju.
"Nggak usah Mas. Nayla punya tabungan ko. Nayla masih-""Udah nggak usah bawel," ucap Alex segera memotong ucapan Nayla.
"Lo nggak usah so'so-an nolak pemberian gue. Gue nggak suka," ucap Alex merasa kesal karena Nayla tidak mau menerima pemberian darinya.Nayla menganggukkan kepalanya patuh.
"Oh, iya udah. Terserah Mas Alex aja."Alex menaikkan sebelah alisnya tak percaya.
"Nggak mau bilang makasih atau apa gitu?" tanya Alex merasa heran karena Nayla biasanya tidak pernah sedingin ini terhadapnya. Bagaimanapun perlakuan Alex terhadapnya.
"Dah lah, ngomong sama lo cuma buang-buang waktu gue."Alex segera menutup telponnya sepihak.
"Bego," ucap Alex memaki dirinya sendiri."Kenapa jadi gue yang seolah-olah minta diperhatiin sama dia," ucap Alex tak mengerti dengan keadaannya saat ini.
Sikapnya tadi seolah-olah ia sangat peduli dan merindukan Kehadiran Nayla disampingnya.
Handphone Alex kembali berdering.
Jantungnya mulai berdetak tak karuan.
Tidak seperti biasanya Alex merasakan hal seperti ini.
Ia mengira bahwa Nayla akan menelponnya balik dan mengucapkan terima kasih kepadanya.
Namun, ia kembali memasang wajah masamnya saat tahu bahwa Isabella lah yang kini tengah menelponnya.
Alex segera membuang napas kasarnya dan menerima telpon dari Isabella.
•••
See you next Part Pren
Ajakin lagi pasukannya ya biar pada ikutan mampir ke lapak sini
KAMU SEDANG MEMBACA
Setinggi Tujuh Tombak [END]
Spiritual"Aku pikir, keputusan menikah denganmu adalah pilihan yang terbaik. Namun ternyata, dugaanku salah." ••• "Ini tentang aku dan sepucuk surat cinta untuk semesta kala matahari terbit Setinggi Tujuh Tombak." "Karena pada akhirnya, hidup ini hanya tenta...