06.00 am

25K 1.8K 111
                                    



Nayla terlihat kebingungan. Mendengar Alex mengucapkan kalimat itu sembari menatap tajam ke arahnya.

Nayla tidak percaya. Apakah seorang Alex bisa cemburu. Apalagi jika itu disebabkan karenanya.

Seperti mustahil baginya. Nayla masih meragukan hal itu.

"Udahlah ya Mas. Nggak usah dibahas lagi. Aku cape," ucap Nayla mencoba mengalihkan perhatiannya dan mengajak Alex untuk segera pergi dan tidak memperpanjang masalah.

Alex tersenyum pilu. Menatap Nayla penuh ragu.
"Lo pikir cuma lo doang yang cape?" tanya Alex menaikkan oktaf suaranya. Merasa kesal karena Nayla tak menghiraukan perasaannya.

"Gue juga cape Nay. Bahkan gue sampai harus mohon-mohon. Ngemis-ngemis tiap hari biar lo maafin gue. Tapi lo nggak peduli," ucap Alex mencoba sedikit memelankan suaranya. Menatap Nayla penuh pengertian.

"Dulu pas lo mohon-mohon sama gue. Gue selalu iyain Nay. Tapi giliran gue sekarang?" tanya Alex meminta Nayla agar mencoba melihat dirinya. Melihat kesungguhannya.
"Lo nggak peduli."

Nayla menghembuskan nafasnya perlahan-lahan sebelum akhirnya ia juga mengeluarkan unek-uneknya selama ini. Mengeluarkan apa yang selama ini menjadi beban dan pikirannya.

"Ya, aku emang pernah ngemis-ngemis sama kamu Mas," ucap Nayla penuh penekanan.

"Ya, aku emang pernah menaruh harapan yang besar sama kamu. Aku sangat berharap bisa terus bersama kamu."

"Ya, aku pernah bermimpi bisa merubah semua sikap mu sama aku Mas."

"Iya, Tapi itu dulu Mas," ucap Nayla mulai terisak mengingat semua sikap dan perilaku Alex dari mulai pertama menikah hingga akhirnya ia trauma dan terluka karena sikapnya.

Mendapatkan luka karena tamparan kehidupan yang begitu keras setelah kepercayaan yang begitu besar yang Nayla berikan untuk Alex.

"Itu dulu, karena aku nggak mau buat lihat ibu kecewa. Aku nggak mau buat ibu khawatir. Bahkan demi kebahagiaan ibu, aku sampai rela nerima pinangan kamu tanpa melihat siapa kamu," ucap Nayla menatap Alex dengan air mata yang begitu deras mengalir di kedua pipinya. Merasakan sesak yang sangat amat, jika ia kembali mengingat semua itu.

Alex semakin terdiam. Dalam hal ini. Ia mengaku salah. Ia mengakui semua kesalahannya selama ini. Ia tahu bahwa selama ini, ia selalu mengacuhkan Nayla dan tak pernah melihat sisi kebaikan dan pengorbanan nya.

"Sekarang, kamu nggak usah khawatir. Alasan aku untuk bertahan sama kamu juga udah nggak ada Mas," ucap Nayla mengusap kasarnya air matanya. Terdengar begitu ikhlas dan pasrah dengan apa yang sudah menimpanya.

"Ibu sudah pergi dan kamu bebas melakukan apapun. Termasuk mewujudkan perceraian kita. Seperti apa yang kamu mau selama ini kan?" tanya Nayla mencoba mengingat ucapan terakhir Alex yang begitu terngiang di telinganya.

"Termasuk menikah dengan Isabella kan?" tanya Nayla tersenyum pilu.

Alex mengacak rambutnya frustasi. Lagi-lagi Nayla tetap teguh pada pendiriannya. Ingin tetap berpisah dengannya.

"Jadi selama ini lo nggak pernah suka sama gue? Lo nggak punya perasaan sedikitpun sama gue? Lo nggak pernah lihat sedikit pun usaha gue?" tanya Alex dengan tatapan yang sangat sulit untuk diartikan.

Nayla hanya terdiam. Ia kini menundukkan kepalanya. Sama sekali tidak ada keinginan untuk menjawab pertanyaan Alex kali ini.

"Sebrengsek itu ya Nay, gue di mata lo sekarang," ucap Alex terdengar begitu memilukan. Melihat Nayla yang sama sekali tidak mengindahkan pertanyaannya kali ini.

Nayla hanya terdiam. Tanpa anggukan ataupun sebuah penolakan.

Melihat Nayla yang terus terdiam. Alex hanya bisa tersenyum pilu.
"Atau emang lo punya rasa sama Pak Andi? Sampai mati-matian belain dia. Sampe mau berantem seperti ini sama gue hah," ucap Alex berprasangka buruk. Merasa bahwa Nayla menyimpan perasaan kepada Pak Andi. Sehingga ia membela Pak Andi habis-habisan.

Alex terlihat sangat kecewa. Ia pikir, ia akan kembali mudah mendapatkan hati dan perhatian dari Nayla.Namun, kenyataan tidak.

Nayla tidak sama dengan perempuan yang ia kenal. Yang bisa mudah luluh dengan segala bujuk dan rayunya. Yang tetap bisa mencintai dan menerima lelaki yang ada di hadapannya. Meski telah telah disakiti dan terluka berkali-kali.

Tak ingin terus menerus berdebat dengan Alex, Nayla berinisiatif untuk pulang sendiri. Namun, Alex segera menahan tangan Nayla.

"Jawab pertanyaan gue," ucap Alex. Menatap tajam ke arah Nayla.

Terlihat dari sorot matanya yang semakin memerah. Seolah menahan amarah yang begitu besar dalam dirinya. Seolah menahan rasa cemburu yang sangat amat.
"Lo suka sama Pak Andi?" tanya Alex terus mendesak Nayla agar menjawab pertanyaannya.

Sama seperti tadi. Nayla masih tetap terdiam. Nayla sebisa mungkin melepaskan cekalan tangan Alex.

"Tolong lepasin tangan aku Mas," ucap Nayla tak peduli dengan pertanyaan yang sama yang keluar dari Alex.
"Aku mohon," ucap Nayla memohon begitu sangat.

Alex mengangkat kedua tangannya pasrah.
"Oke, oke Nay. Gue nyerah," ucap Alex kemudian melepaskan genggaman tangannya. Alex merasa bahwa Nayla tidak akan pernah memaafkannya dan tetap teguh kepada pendiriannya.

"Dengan lo diam, semuanya udah jelas," ucap Alex terdengar begitu memilukan.

"Gue pamit ya," ucap Alex kemudian tersenyum pilu menatap Nayla yang masih menundukkan pandangannya.

"Maaf, udah ngerepotin lo."

Alex terus menatap Nayla. Tak sedikitpun pandangan teralihkan meskipun banyak sekali orang sekitar yang melihat pertengkaran kedua insan ini.

"Lo nggak usah khawatir. Lo mau bebas kan dari gue? Oke, gue bakalan urus semuanya setelah lo ngelahirin anak gue," ucap Alex terdengar begitu pasrah mendapati kenyataan bahwa ia telah gagal merebut kembali hati seorang Nayla.

"Gue pamit. Jaga diri baik-baik ya," ucap Alex masih berupaya mengelus halus puncak kepala Nayla sebelum akhirnya ia benar-benar pergi dan melajukan mobilnya. Meninggalkan Nayla seorang diri yang tengah terisak merasakan perasaan yang semakin bergejolak.

Antara bahagia dan duka yang kini menjelma menjadi dilema.

Nayla segera pergi dengan sisa luka yang semakin menggema.

Entah, apakah ia sudah benar mengambil keputusan yang tepat di dalam hidupnya atau pun justru sebuah kesalahan besar. Nayla tidak tahu. Yang ia tahu, ia hanya berusaha mengikuti kata hatinya.

Nayla hanya ingin memberikan pelajaran dan efek jera kepada Alex, bahwa tidak semua perempuan akan mudah memberikan kepercayaan kembali setelah dikecewakan. Tidak semua perempuan akan begitu saja memberikan kesempatan kedua.

"Maafkan ibu ya Nak. Ibu tahu ini egois. Tapi, ibu belum sepenuhnya yakin kalau ayahmu benar-benar sudah berubah," ucap Nayla terus mengelus halus perutnya yang semakin hari semakin membesar.

Nayla segera pergi setelah melihat mobil Alex yang semakin jauh. Melaju kencang hingga hampir menabrak beberapa pengendara yang berada di depannya.

•••

Instagram : @setiawantuz

Setinggi Tujuh Tombak [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang