Halo sahabat
Jangan lupa tinggalkan jejak biar aku semangat lanjutnya yaTerima kasih dan selamat membaca
Selain penyakit yang diartikan dalam hal fisik, ada juga yang disebut penyakit mental. Penyakit yang mungkin tidak terlalu nampak dari luar, tetapi sangat mengancam jiwa seseorang.
Sebagaimana penyakit yang sudah dikenal umum oleh society, salah satunya adalah penyakit mental dan emosi seperti fobia atau rasa takut yang tidak masuk akal terhadap sesuatu, hingga gangguan tingkat lanjut yang dapat membuat si penderita memutuskan untuk meminum pil tidur hingga tertidur selamanya, atau gantung diri di ruang tertutup seperti dalam kamar yang selama ini menemaninya.
Well, kita tidak akan tau seberapa besar penderitaan orang sebelum mengalaminya sendiri. Kita mungkin bisa mengatakan bahwa kita memahami perasaan orang yang baru saja kehilangan orang terkasihnya. Namun percayalah, mau bersikap jujur atau denial kita sebenarnya tidak sungguhan merasakan apa yang dialami oleh orang tersebut. Kita mungkin hanya simpati, atau mungkin satu tingkat diatasnya yaitu empati. Kita mungkin memposisikan diri sepertinya, tapi rasa sakit dan kehilangan yang coba kita rasakan tidak akan benar-benar sama.
That's why jangan terlalu egois. Jangan merasa bahwa orang tersebut lebay karena sedih berkepanjangan, atau sampai mengkritik di depan tanpa sadar dengan situasi dan kondisi yang sedang terjadi.
Kita tidak pernah tau apa dampak dari omongan kita bagi seseorang, terutama yang sedang berada di ambang depresi. Semua menjadi mungkin untuk dilakukan, bahkan untuk hal yang membahayakan dirinya sekalipun.
"Jadi gue harus apa?" Alea masih mendiamkan pesan dari Aleta. Pasalnya dia juga bingung bagaimana menyikapi cerita yang baru saja di di bacanya di room chat antara keduanya itu.
Alea menghela napas. Mengumpulkan tenaga untuk berpikir karena pertanyaan yang diajukan Aleta memang sedikit membuatnya kebingungan. "Break up?" dengan berbagai pertimbangan, akhirnya dua kata itu dia kirimkan.
"Jatuhnya dia udah nggak masuk akal gak sih?" tanpa menunggu jawaban pesan dari seberang, Alea kembali mengirimkan pesan.
"Gue tau dia mungkin punya trauma sama mantan pacarnya yang dulu, Ta. Tapi kalo dia mengekang lo sampe segitunya, bukannya udah nggak wajar? i mean kek, hidup lo nggak cuma seputar Dani aja, please!"
Belum ada satu menit, pesan balasan muncul dari orang yang sedang mengalami kegalauan. "Nah kan, gue juga mikirnya gini, Ya."
"Bukannya gue nggak ngertiin Dani yang dulu emang hampir depresi karena dikhianati sahabat sama pacarnya, tapi gue juga butuh ruang buat gerak njir."
"Gue tau dia punya pengalaman buruk di hubungan dia sebelumnya, and i am okay with that."
"Tapi gue juga capek, Ya. Selalu di curigai tanpa ada alasan yang jelas. Dia cuma ngikutin asumsi-asumsi di otaknya yang belum tentu bener."
Aku menyandarkan punggung di sofa, lalu mengetikkan pesan balasan untuk perempuan di seberang sana. "Perasaan lo ke dia gimana?"
"Gue bingung, jujur. Antara pengen udahan, tapi di sisi lain gue juga masih sayang."
"Kalo case nya gini, gue juga bingung wkwk" jawab Alea sebelum akhirnya meletakkan ponsel dan beranjak ke kamar mandi.
***
"Sial!" Alea mengumpat saat menyadari bahwa dia sudah pasti akan terlambat.
Tadi pagi dia bangun kesiangan, dan dengan bodohnya malah kembali ketiduran sampai akhirnya benar-benar baru bangun di waktu yang terbilang kritis. Pukul delapan kurang dua menit, saat jam kuliahnya sendiri di mulai pukul delapan tepat.
Poor you, Ya!
Sumpah demi apapun Alea menyesal menggunakan semua jatah bolosnya di minggu-minggu awal perkuliahan. Apalagi di mata kuliah umum yang notabene dia sendirian, tidak satu kelas dengan Aleta, tidak ada yang bisa diandalkannya untuk sekedar menge-tag kan tempat duduk.
Tanpa mempedulikan sekitar, Alea langsung berlari setelah keluar dari taxi. Dia sudah hampir terlambat tiga puluh menit, dan kemungkinan besar pasti tidak akan diterima di kelas.
Tapi yang namanya sebuah kemungkinan, masih pantas di coba kan? karena ada yang bilang bahwa kemungkinan-kemungkinan itu menjadi mungkin terjadi adalah sebuah kemungkinan yang mungkin saya tidak terjadi.
Oke, Alea tau ini memang agak membingungkan. Tapi intinya walaupun kemungkinan besar dia akan di usir, masih ada kemungkinan kecil dia akan diterima sehingga tidak salah jika dia membuktikan kemungkinan kecil itu, kan?
Bruk!
Tepat di belokan sebelum memasuki lorong yang menuju kelasnya dilaksanakan, Alea menabrak seseorang hingga terjatuh. "Eh, sori gue nggak sengaja!" ujarnya meminta maaf. Pasalnya memang dia yang salah, berlari-lari tanpa melihat situasi."Alea?" dia mendongak. Tepat saat suara bariton seseorang memanggilnya.
Matanya membulat sempurna. Merasa kaget dan tidak menduga karena bertemu seseorang yang tidak terpikirkan. "Bintang?" ucapnya sembari meringis. Pasalnya dia bingung ingin berekspresi seperti apa setelah melihat laki-laki tampan yang ada di hadapannya.
Kenapa jantungnya tiba-tiba berdetak lebih cepat?
Apa ini tanda-tanda dari apa yang pernah Mas Seno sebutkan?Tanpa terduga, Bintang mengulurkan tangannya untuk membantu Alea berdiri. Dia sendiri tidak tau dapat dorongan darimana, tangannya bergerak sendiri untuk membantu perempuan yang ada di hadapannya. "Lo, gak papa?"
Alea menggigit pelan bibir bawahnya. Antara ingin tertawa karena Bintang menawarinya bantuan, atau karena kesal akibat laki-laki di hadapannya tidak menampilkan ekspresi apapun padanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aleandra
Teen Fiction"Ya, open BO nggak?" Gila! Alea hampir melempari laki-laki yang barusan berbicara itu dengan buku cetak setebal 350 lembar lebih yang ada di tangan kanannya. Bagaimana bisa mulutnya begitu lancar mengatakan hal menjijikan seperti itu pada perempuan...