The Cry Of Children

377 61 25
                                    


Akhirnya update, semoga tidak mengecewakan
Terima kasih ya buat yang selalu nungguin cerita ini

I love you so much

Selamat membaca

Dalam bukunya yang berjudul Coping With Depression, J. Maurus menyebutkan bahwa reaksi anak ketika sedang dilanda depresi terbagi menjadi dua jenis, yakni bertingkah agresif atau justru menarik diri  ke dalam cangkang dimana mereka merasa aman dan terlindungi. Artinya secara naluriah anak punya dua pilihan dasar, yakni memilih untuk melawan atau melarikan diri.

Anak yang memilih melarikan diri akan terasing dari dunia sosial, baik keluarga, lingkungan pendidikan, dan teman sepergaulan. Entah merasa malu, malas, takut, atau justru merasa bahwa tidak akan ada orang yang mampu memahaminya sehingga dia tidak perlu repot-repot bersosialisasi hanya untuk berteman dengan orang-orang yang hanya berpura-pura padanya.

Kesendirian akan mulai berteman baik dengan anak tersebut. Tidak memiliki emosi atau ketertarikan tertentu pada dunia sekitar dan memilih untuk bermain dengan pikirannya sendiri.

Sayangnya, hal semacam ini terjadi pada seorang Bintang. Sejak kecil, dia sering melihat pertengkaran orang tuanya. Papanya seperti dua orang yang berbeda, kadang begitu baik terhadap dia dan mamanya, namun terkadang menggunakan kata-kata kasar dan perlakuan tidak mengenakan pada situasi-situasi tertentu.

Lama kelamaan dia mulai merasa muak. Namun sebagai anak kecil tidak ada yang bisa dia lakukan terhadap perlakuan menjijikan yang diterimanya. Dia menjadi punya pikiran bahwa tidak ada orang lain yang sungguh sayang terhadap dia, bahkan papanya saja yang notabene adalah orang tua kandungnya sendiri bersikap seperti itu. Apalagi setelah perselingkuhannya terungkap, dia semakin percaya pada asumsinya dan benar-benar kehilangan respek pada satu-satunya orang tua yang tersisa itu.

"Kenapa?" dengan pandangan lurus yang penuh dengan emosi, Bintang menanyakan alasan papanya meminta untuk bertemu dengannya. "Kalau tidak ada yang mau Anda katakan, saya permisi dulu." Muak dengan papanya yang tidak kunjung mengatakan sesuatu, rasanya dia ingin pergi saja dari sini.

Setiap kali melihat wajah papanya, Bintang selalu teringat pada mamanya. Tentang bagaimana setiap perbuatan papannya menyakiti memanya hingga akhirnya meninggal karena terlibat kecelakaan.

"Pulang!" Satu kata yang keluar dari mulut papanya berhasil menghentikan langkahnya yang akan pergi.

"Pulang?" Ulangnya sembari menautkan dahi. Papanya adalah orang yang paling bahagia saat dia memutuskan untuk keluar dari rumah. Lalu apa ini? tanpa ada alasan tiba-tiba memintanya untuk pulang.

"Kenapa?" Lanjutnya saat tak ada balasan apapun dari laki-laki paruh baya di depannya. "Saya adalah anak yang merepotkan bukan? Anak berandalan yang hanya memalukan Anda dan keluarga baru Anda?"

Bintang mengepalkan tangan untuk menahan emosi dalam dirinya . "Kenapa Anda malah menyuruh saya untuk pulang? Apakah istri dan anak Anda yang lain tidak cukup berisik untuk meninggali rumah besar Anda?" dengan sarkas Bintang kembali melontarkan pertanyaan pada papanya.

"Jangan kurang ajar ya kamu!" Bintang tersenyum. Bukan senyuman manis, melainkan senyum miris karena meski bertahun-tahun telah berlalu tidak ada perubahan apapun dalam diri papanya.

"Kamu harusnya bersyukur karena mama kamu yang meminta saya mengajak kamu pulang."

"Mama?" Bintang tertawa. "Maaf Anda mungkin salah orang. Saya sudah tidak punya mama sejak lama."

Bintang melirik ekspresi papanya yang kini sudah berubah. Menampilkan otot-otot wajahnya, tanda bahwa emosinya sudah mulai naik dalam menghadapi anak sulungnya itu. "Kalau mama kamu gak khawatir bikin masalah dan jadi penghambat papa buat jadi anggota dewan, papa juga tidak akan repot-repot meminta anak tidak tahu diri seperti kamu untuk pulang."

Sakit!
Bohong jika dia tidak merasa sakit saat papanya sendiri mengatakan bahwa dia adalah anak yang merepotkan. Anak yang bahkan mungkin sudah tidak dianggap meski secara hukum masih diakui sebagai putra sulung seorang Gunadharma yang sebentar lagi akan melebarkan sayap ke dunia politik itu.

Bintang berdecih. Berusaha sebisa mungkin untuk tetap tegar dan tidak memperlihatkan sisi kerapuhannya. "Kalau tujuan Anda mengajak saya pulang agar tidak membuat masalah saat pencalonan, Anda tenang saja. Saya tidak akan membuat masalah, karena saya juga malu kalau sampai publik tau bahwa saya adalah anak Anda."

"Kenyataan bahwa ada darah Anda yang mengalir dalam diri saya adalah sebuah fakta yang membuat saya selalu  menyesal." Bintang memandang lurus ke arah papanya yang terlihat kaget. Namun tanpa basa-basi dan pikir panjang, dia memutuskan untuk pergi.

"Bruk!" Saking tidak fokusnya dengan jalanan akhirnya membuatnya tidak sadar bahwa ada orang lain di hadapannya. "Sori." Ujarnya sembari mengambilkan dompet biru yang terjatuh - sepertinya milik orang yang dia tabrak.

Tatapannya terhenti, tepat saat menyadari bahwa orang yang berdiri dihadapannya memiliki sesuatu yang sangat di rindukannya. "Mama...."

AleandraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang