Saling Diam

199 25 2
                                        

Mengetahui bahwa kita harus berempati adalah sebuah hal yang mudah. Namun benar-benar berempati bukanlah hal yang gampang, terutama jika kita belum pernah mengalami hal yang sama.

Well, sepanjang hidup kita sering dinasehati agar memperlakukan orang lain seperti bagaimana kita ingin diperlakukan. Tapi lagi-lagi — entah kenapa, begitu sulit untuk berhenti sejenak dan membayangkan berada di posisi orang lain. Makanya tidak heran, meski sudah berusaha secara maksimal orang lain belum bisa melihatnya demikian.

"Minum, Le." Bintang memberikan sekaleng softdrink pada perempuan yang  pernah menempati kamarnya itu. Dia juga meletakkan sepiring kue di meja sebelahnya sebagai pelengkap. "Sori nggak ada apa-apa. Jadi gue kasih kue yang lo bawa tadi." Sembari berbicara, Bintang menggaruk tengkuknya pelan. Sepertinya tidak enak karena menyuguhi Alea dengan kue yang baru diantarkannya itu. Namun mau bagaimana lagi, dia tidak terbiasa untuk menyimpan makanan karena tidak pernah ada tamu yang datang.

Alea tersenyum menerima pemberian sang tuan rumah. "Nggak papa kok. Makasih ya."

"Maaf juga gue jadi ngerepotin," lanjutnya untuk menanggapi permintaan maaf Bintang. Dia sendiri juga merasa tidak enak karena keberadaannya jadi merepotkan.

Bintang mengangguk. Lalu menarik satu kursi tak jauh darinya untuk diduduki. "Biasanya kalau udah begitu, ditinggal pulang sama Mba Helen anaknya."

Alea menoleh ke arah Bintang dan mengikuti arah pandang laki-laki itu. Baru lah dia mengerti apa yang dikatakannya, sebab melihat interaksi antara Meimei dan Rino. "Mereka emang seakrab itu?" tanyanya penasaran.

Bintang mengangguk. "Iya. Udah kaya anak sama bapak sendiri."

Pernyataan Bintang mengkonfirmasi dugaan Alea. Dari caranya berinteraksi, Rino memang terlihat sangat menyayangi Meimei. Begitu juga sebaliknya. "Kalo sama lo gimana?" pertanyaan tersebut refleks keluar dari mulut Alea. Entah sebenarnya sadar atau tidak.

Bintang cukup kaget dengan pertanyaan yang diajukan perempuan yang duduk di sebelahnya. Tidak menyangka bahwa dia akan mendapatkan pertanyaan semacam itu. "Deket nggak deket sih," jawabnya ragu. "Dibilang deket kayaknya nggak juga, tapi dibilang nggak deket juga kayaknya deket."

Alea mengernyitkan dahi. "Jadi gimana akhirnya?" ujarnya sembari tersenyum.

"So so lah kayaknya." Lalu keduanya terdiam.

Alea sedang mencoba untuk mencari topik obrolan yang sekiranya bisa mengisi kebisuan di antara keduanya, sementara Bintang sedang memikirkan kalimat yang tepat untuk minta maaf mengenai kejadian di kafe tempo lalu.

"Le, gue mau minta maaf buat yang kemarin." Setelah mempertimbangkan dengan seksama, Bintang memilih untuk to the point. Pasalnya dia tidak pandai berbasa-basi, apalagi dengan perempuan.

Alea yang sedang melamun tentu kaget. Tiba-tiba — untuk kedua kalinya dalam beberapa saat terakhir, laki-laki yang pernah menolongnya itu meminta maaf. "Yang mana?" daripada bingung, dia langsung menanyakan apa maksud ucapan Bintang. Kemudian berusaha membuka kaleng minuman yang sedari tadi masih dianggurkannya itu.

"Soal yang di kafe, pas gue gak sengaja nabrak lo." Meski enggan, pada akhirnya Bintang mengingat kejadian di mana dia bertemu dengan papanya itu.

"Boleh gue bantu?" setelah mengamati bahwa Alea kesulitan membuka tutup kaleng, Bintang menawarkan bantuan. Dia mengulurkan tangan sebagai tanda bahwa dia benar-benar sedang menawarkan bantuan.

Alea menoleh dan tersenyum kikuk. "Boleh, tolong ya..." jawabnya sembari memberikan kaleng di tangannya pada Bintang.

"Soal permintaan maaf lo, udah gue maafin kok. Kan kemarin lo udah sempet langsung minta maaf juga."

Bintang mengembalikan kaleng yang tutupnya sudah terbuka itu. "Tapi kurang proper kemarin. Langsung gue tinggal gitu aja kan?" sebenarnya Bintang menyadari bahwa permintaan maafnya tak terlihat sungguh-sungguh. Namun situasinya agak tidak mendukung, sehingga mau tidak mau dia harus segera meninggalkan tempat itu — tanpa menunggu jawaban dari Alea.

Jujur Alea penasaran mengapa Bintang terlihat buru-buru waktu itu. Namun untuk menanyakannya, sepertinya dia juga tidak punya hak. Mereka tidak sedekat itu untuk saling bertanya hal yang cukup pribadi.

"Santai. Gue paham kalau kemarin Lo lagi buru-buru." Dan keduanya kembali saling diam. Entah karena memang sudah tidak  ada yang perlu dibicarakan, atau karena keduanya terlalu kaku untuk membuka obrolan yang menyenangkan. Untunglah sebelum situasinya semakin awkward,  dering ponsel dari saku Bintang berhasil menyelamatkan keduanya dari situasi  saling diam yang mensunyikan.

AleandraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang