Catcalling adalah salah satu bentuk pelecehan seksual dalam bentuk kekerasan verbal atau kekerasan psikis. Biasanya catcalling termanifestasikan dalam ucapan, komentar, siulan, atau pujian yang kadang-kadang disertai kedipan mata yang dekat dengan nuansa seksual.
Godaan-godaan verbal semacam ini adalah perbuatan yang sangat menganggu. Membuat perempuan yang mengalaminya merasa tidak nyaman, terancam dan bahkan mengalami trauma jika godaan tersebut sudah merambah ke arah fisik.
Secara umum, laki-laki yang melakukan praktik catcalling mungkin menganggap bahwa panggilan-panggilan itu hanya sebuah keisengan saja. Apalagi mereka melakukannya secara bersama dalam kelompok, secara spontanitas dan sambil tertawa-tawa, serta menganggap bahwa hal tersebut hanyalah sebuah candaan semata. Dan lebih ironisnya lagi, setelah melakukannya para laki-laki tersebut akan sangat mudah untuk melupakannya.
Padahal apa yang mereka lakukan itu tidak dianggap seenteng itu oleh perempuan yang menjadi korban. Alih-alih menganggap hal demikian ini sebagai sesuatu yang lucu apalagi menghibur, perempuan akan mengalami rasa rendah diri dan kebingungan. Apakah harus menanggapi (termasuk menegur atau marah kepada para pelaku) atau mengacuhkan mereka saja.
"Ya, open bo nggak?"
Gila!
Alea hampir melempari laki-laki yang barusan berbicara itu dengan buku cetak setebal 350 lembar lebih yang ada di tangan kanannya.Bagaimana bisa mulutnya begitu lancar mengatakan hal menjijikan seperti itu pada perempuan yang hanya numpang lewat di depannya?
Alea berhenti berjalan. Menoleh ke arah kumpulan laki-laki yang meledeknya barusan, lalu tersenyum manis dan berkata. "Sori bro, even gue open bo pun tabungan lo selama hidup nggak bakal cukup kayaknya!"
Badas!
Alea tersenyum smrik, lalu berjalan dengan mendongakkan kepala."Gue nggak bakal down cuma karena omongan sampah lo pada!" Gumamnya yang hanya bisa di dengar dirinya sendiri.
***
"Gimana, Ya?" tanya Aleta yang duduk tepat disebelahnya.
Aleta Diandra adalah satu-satunya teman yang dimiliki oleh seorang Aleandra. Meski keduanya tidak terlalu dekat jika berada di luar kampus, setidaknya Alea masih bersyukur karena masih punya seorang teman.
"Gimana apanya?" Alea menengok sekilas ke arah samping, sebelum kedua matanya kembali fokus mencatat apa yang dijelaskan dosennya di depan sana.
"Soal rumor itu," Aleta sedikit berbisik karena suasana kelas memang begitu tenang.
Jika keduanya ketahuan mengobrol, maka bisa dipastikan akan kena marah dan di usir dari kelas ini.
"Gue nggak peduli, Ta. Males juga ngurusin soal-soal gituan." Alea menjawab tanpa menoleh ke arah Aleta sama sekali.
"Lo yakin, Ya?"
"Iya."
Aleta yang berada di sebelahnya hanya bisa menggelengkan kepala. Dia tidak habis pikir kenapa temannya yang tidak punya teman lain, selain dirinya tentunya, bisa begitu acuh dengan masalah besar seperti ini
"Ya, ini rumornya makin menjadi-jadi dari yang terakhir kali."
"Lo bener-bener udah jadi trending topik sekarang. Bahkan di grup angkatan tau." Aleta masih menjelaskan tentang begitu seriusnya rumor yang menyebar tentang dirinya.
"Gue nggak peduli, Ta. Nggak join group juga." Jawabnya enteng.
"Ya ampun, Ya. Lo bener-bener ya ...." Aleta sudah geregetan dengan respon acuh-acuhan wanita cantik di sampingnya itu.
"Diem, Ta. Lo udah dipelototin bapaknya daritadi." Alea meletakkan satu paper note di atas meja Aleta.
Dan satu informasi itu berhasil membuat perempuan disampingnya berhenti untuk merecokinya.
***
"Ya, semalem berapa?"
Baru saja keluar dari gedung perpustakaan, adalagi omongan tidak berguna yang didengar oleh Alea.
Sepertinya omongan Aleta di kelas tadi benar-benar nyata. Dalam waktu kurang dari empat puluh delapan jam, sepertinya Alea sudah berhasil menduduki peringkat pertama orang yang paling banyak dibicarakan di kampusnya.
Dia tidak habis pikir kenapa dalam lingkungan akademis seperti ini, rumor sampah yang tidak tahu sumber awalnya dari mana bisa menyebar seluas itu dan meng-reach semua angkatan.
Bagaimana dia bisa tahu?
Karena barusan yang mengatakan hal tidak bermoral seperti itu adalah salah satu kakak tingkatnya yang sudah terlalu tua untuk disebutnya sebagai senior.
"Sori, Mas. Gue rasa tarif gue semalem bisa lebih dari harga ginjal lo!"
"Permisi!" Alea sudah terlalu muak untuk meladeni orang-orang tidak berpendidikan semacam ini.
Daripada menjelasakan fakta yang tidak mungkin juga mereka percayai, lebih baik bersikap seolah-olah tidak terganggu dan berujar yang dapat melukai harga diri mereka.
Masalah hidupnya sudah terlalu banyak sehingga jika di tambah satu masalah soal rumor sepertinya tidak akan menambah bebannya sama sekali.
Daripada memikirkan orang yang tidak memiliki manfaat dalam hidupnya, lebih baik dia segera bergegas pulang dan menemui Mas Seno untuk membicarakan fee nya yang belum juga cair seperti yang dijanjikannya kemarin.
Gimana?
Sejauh ini bikin kalian interest nggak?
KAMU SEDANG MEMBACA
Aleandra
Fiksi Remaja"Ya, open BO nggak?" Gila! Alea hampir melempari laki-laki yang barusan berbicara itu dengan buku cetak setebal 350 lembar lebih yang ada di tangan kanannya. Bagaimana bisa mulutnya begitu lancar mengatakan hal menjijikan seperti itu pada perempuan...