Sudah satu bulan sejak kepindahannya ke sekolah baru yang sekarang, Dita amat bersyukur karena di sini dia punya banyak teman, tidak seperti sebelumnya bahkan dia di jauhi.
Kebanyakan orang malah jadi takut berada di dekatnya karena kemampuannya itu, seolah dirinya yang membawa kesialan.
Dalam benak Dita bertanya-tanya kenapa dirinya seperti itu, dia juga tidak mau. Tetapi, kadang dia bersyukur, paling tidak dia bisa melindungi orang-orang yang dia sayang, tetapi di sisi lain, dia juga selalu merasa ketakutan, resah dan rasa tidak aman saat mimpi buruk itu datang.
Pagi ini, lebih tepatnya kantin sekolah, Dita duduk di sana dengan sepiring mie goreng dan telur mata sapi di atasnya, siap di santap. Namun, Dita kehilangan nafsu makannya ketika mengingat lagi mimpinya semalam. Hal itu juga yang membuat Dita tidak bisa tidur lagi hingga subuh dan baru terlelap pukul empat pagi, dan akhirnya dia terlambat bangun menyebabkan dia berangkat tanpa sarapan.
"Jangan melamun." Seseorang membuyarkan lamunannya.
"Kenapa, apa mimpi buruk lagi?" tanya Taeyong kemudian karena Dita tak kunjung menjawab. Sejak dari rumah Dita juga nampak murung, makanya Taeyong berinisiatif menyusul Dita ke kantin.
"Nggak." Dita menggeleng
"Terus?" Taeyong kembali bertanya.
Dita malah menghela nafas berat, sedangkan Taeyong menunggu jawaban dari mulut Dita.
"Minggu besok sudah mulai UTS kan, aku cuma kepikiran saja, bagaimana caranya bisa masuk sepuluh besar?" Dia tak sepenuhnya berbohong, masalah ini juga pemicu moodnya memburuk.
Dita harus mampu di peringkat itu kalau ingin kartu kreditnya kembali, dia perlu membeli novel-novel kesayangannya yang baru terbit. Selama dia tidak memegang kartu kredit, keuangannya di atur oleh kakaknya, tentu dia tidak leluasa, apalagi kakaknya sangat perhitungan.
"Gampang." kata Taeyong tanpa merasa terbebani.
Dita menghela pelan, tentu saja itu gampang untuk seorang Taeyong yang wara-wiri ikut Olimpiade, peringkat satu paralel dan kutu buku.
"Aku ajarin." Kalimat itu sontak membuat Dita menatap Taeyong dengan serius.
"Beneran, memangnya nggak ngerepotin?"
"Nggak, tapi ini nggak gratis." Taeyong mengukir senyum tipis.
"Iya paham, ke toilet saja bayar, memangnya apa yang gratis di dunia ini?" Sungguh miris.
"Nafas."
Dita tertawa rendah, benar memang yang Taeyong katakan dalam tanda kutip, kecuali untuk orang yang memiliki penyakit pernafasan.
Mereka semakin dekat dari hari ke hari, apalagi sejak kejadian Anxiety Dita yang kambuh. Kalau mengingat kembali, Dita ingin memaki dirinya sendiri. Malu karena Taeyong sampai memeluknya, sama persis seperti cara kakaknya ketika mencoba menenangkannya saat penyakitnya itu kambuh.
Di sini Dita harus bersyukur karena kalau mengingat ke belakang, dia hanya bisa memeluk kaki sendiri saat penyakit itu kambuh di sekolah.
Saat pelajaran Dita merasa kantuknya menyerang, dia menaruh kepalanya di meja dan mulai memejamkan matanya seolah tidak peduli dengan guru yang sedang menjelaskan di depan, beberapa menit Dita terlelap.
"Siapa itu yang tidur?" Seru bu Heni
Semua yang ada di kelas menoleh kearah Dita, begitupun Jinny yang sekarang sedang berusaha membangunkan Dita.
"Dita bangun." Sambil menggerakkan bahu Dita
"Hmmm,,,"gumam Dita, tetapi masih enggan membuka matanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dreemen
Teen FictionAdakah orang di dunia ini yang takut akan sebuah mimpi, bukankah mimpi hanya bunga tidur mungkin bagi kebanyakan orang begitu, tapi berbeda dengan Dita Setiap mimpi yang muncul dalam tidurnya akan benar-benar terjadi di kemudian hari masalah ini cuk...