☆ fifteen ☆

416 71 47
                                    

about us trying each other

***

Jingga hampir di buat marah oleh Rajendra karena laki-laki itu membuatnya menunggu selama satu jam. Rajendra bilang setelah sholat Isya akan menjemputnya untuk pergi menonton sesuai jadwal janjian mereka. Gadis itu sudah uring-uringan sejak tadi membuat Jehan, ayah, dan bundanya hanya mendengus pelan.

"Ini anak ngelunjak banget ya? Gue emang bilang free, tapi ya gak gini juga." Gerutunya sembari terus mencoba menghubungi ponsel Rajendra.

"Udahlah batalin aja. Gak bisa di toleransi kalau telat sejam begini." Kompor Jehan semakin membuat Jingga mengumpat kesal dalam diamnya. Gadis itu melemparkan ponselnya ke arah sofa lalu bergegas menuju lantai atas.

"Bener mbak gak jadi pergi?"

"Gak."

"Dih, bunda juga ikut di sewotin masa."

Jingga tak menghiraukan bundanya dengan langkah cepat untuk menuju kamarnya. Ia sudah tidak peduli lagi dengan Rajendra yang saat ini berhasil membuatnya kesal setengah mati. Ia paling tidak suka dengan seseorang yang membuatnya menunggu dengan tidak ada kejelasan seperti ini.

Gadis itu memasuki kamar dengan wajah yang tertekuk. Dengan gerutuan yang terus keluar dari bibirnya, Jingga merebahkan tubuhnya di atas kasur. Tak peduli pada keadaan rambut yang tadi di catok selama kurang lebih satu jam lamanya. Ia menatap pada gorden di dalam kamarnya dalam diam.

Ia kira Rajendra takkan lupa dengan janjinya sendiri.

Jingga sedari tadi hanya bisa menghela nafasnya kasar. Mau marah pun rasanya sudah terlalu melelahkan. Meski di dalam lubuk hatinya tak henti-henti untuk menyumpah serapah Rajendra dengan banyak kata kasar. Gadis itu bisa dibuat menunggu, namun ia akan marah jika ia harus menunggu terlalu lama.

"Mbak, ponsel lo dari tadi bunyi nih. Mas Rajendra spam lo berkali-kali. Jawab gih, sumpek gue dengernya." Jehan datang sembari melemparkan ponsel Jingga tepat di sebelah gadis itu merebahkan diri.

Jehan beralih pada jendela kamar kakaknya, ia menelisik sesuatu yang ada di bawah sana. "Ternyata orang beserta motornya udah ada di bawah. Pergi sana daripada manyun terus di sini."

Jingga tak beranjak membuat Jehan gemas sendiri dibuatnya. Tak segan, ia menarik pergelangan tangan Jingga agar kakaknya itu mau berdiri. Bila tak ingin menemui Rajendra, setidaknya gadis itu menghentikan suara bising ponselnya yang berbunyi sedari tadi.

"Apa sih?" Ketus Jingga sembari melepas cekalan tangan Jehan yang melingkar pada lengan atasnya. "Kok lo yang ribet banget perasaan."

"Ponsel lo berisik anjing. Lagian ngapain pake ngambek segala sih? Turun, kalau gak mau pergi ya bilang. Jangan diem aja gini lah, dikira mas Jendranya tau kalau lo lagi marah begini?"

"Harusnya tau lah!"

Gadis itu menjawab dengan sengit mengakibatkan Jehan hanya bisa menjilat bibir bawahnya. Sepertinya ia salah berbicara mengenai kakaknya yang emosian tersebut.

"Sabar-sabar, tahan."

Jingga menggembungkan pipinya dengan kaki yang di hentakkan. Meski rasanya dirinya malas sekali bertemu Rajendra saat ini, tapi ia harus menemui laki-laki itu suka tidak suka. Terdengar Rajendra sedang berbicara dengan kedua orang tuanya dari arah ruang tamu.

Jehan hanya bisa mengikuti langkah kakaknya itu dari belakang. Bisa ia rasakan kalau Jingga sebenarnya tak ingin bertemu seseorang yang dengan sengaja membuatnya marah. Jehan tersenyum tipis sebelum mata wolf-nya melirik ke arah Rajendra yang tertegun karena kehadiran Jingga.

STRAWBERRY AND CIGARETTE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang