"Rajendra?"
Dengan mata yang sayu, laki-laki itu menatap ke arah Jingga tanpa bersuara. Hanya menoleh lalu tersenyum tipis membuat Jingga sedikit kebingungan. "Kamu ngapain duduk di luar? Masuk yuk, di luar dingin."
Tak ada jawaban dari mulut Rajendra, anehnya laki-laki itu tetap memandangi Jingga dengan senyumannya yang tak bisa dijelaskan apa maknanya. Beberapa menit yang lalu Jingga dibuat terkejut tatkala sang bunda memberitahunya jika Rajendra datang tiba-tiba dan enggan untuk masuk. Laki-laki yang kini menggunakan kaos hitam itu memilih untuk duduk di lantai teras rumahnya yang dingin malam ini.
Jingga menatap Rajendra yang kini berdiri dengan pelan mengabaikan leather jacket berwarna hitam kesayangannya. Sama seperti sebelumnya, Rajendra hanya diam meski kini senyumanya sudah memudar. Gadis dengan baju rumahan berwarna gelap itu terdiam khawatir karena jujur Rajendra tak pernah begini sebelumnya.
"Aje, kamu kenapa—?
Pertanyaan itu terpotong karena saat ini Rajendra memeluk gadisnya dengan erat. Kepalanya berada di ceruk leher Jingga dengan deru nafas panas yang terdengar lirih di telinga gadis itu. Jingga pun terdiam merapatkan mulutnya dan beralih mengusap punggung besar Rajendra dengan tangannya secara perlahan.
Ia tahu, Rajendra-nya tidak baik-baik saja.
"Jingga, aku capek."
"Iya, aku ada di sini buat kamu."
"Aku mau marah tapi aku juga mau nangis dan aku mau peluk kamu lama-lama."
Jingga mengedipkan matanya sesaat. Tangan yang sedang mengusap punggung besar tersebut juga sempat terhenti ketika ia mulai mengerti Rajendra sangat membutuhkannya.
"Jingga aku mau dunia baik sama aku lagi. Aku jahat ya selama ini? Makanya dunia gak mau baikin aku? Kayanya aku udah melalukan kesalahan besar."
Gadis itu hanya diam, menunggu Rajendra terus berbicara mempertanyakan banyak hal. Entah apa yang menimpa kekasihnya itu, Jingga rasanya ingin menangis saat ini juga. Kesedihan itu telah menyalur ke hatinya dan kini ia hanya bisa mendekap Rajendra tanpa tau pasti apa yang membuat laki-laki itu se rapuh saat ini.
"Jingga ayo peluk aku yang lama." Rajendra semakin mengeratkan pelukannya padas gadis itu. "Ayo usap punggungku terus."
"Iya, aku bakal peluk kamu yang lama dan terus usap punggungmu juga." Jingga menuruti ucapan laki-laki itu tanpa terkecuali. "Aje, kalau kamu mau nangis gapapa nangis aja. Jangan ngerasa karena kamu cowok kamu gak boleh nangis. Tumpahin, Je."
Selang beberapa detik, Jingga bisa mendengar suara lirihan Rajendra yang menangis. Meski terdengar pelan, tapi hal tersebut berhasil membuat Jingga semakin mendekap kekasihnya itu. Tak ada satu perkataan yang keluar dari mulutnya walaupun dalam benaknya ada banyak sekali pertanyaan yang ditujukan untuk Rajendra. Namun, untuk saat ini keberadaanya di sisi Rajendra lebih dibutuhkan ketimbang jawaban atas semua pertanyaan yang ada di dalam kepalanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
STRAWBERRY AND CIGARETTE
Fiksi PenggemarKetika orang yang memiliki ambisi kuat bertemu dengan seseorang yang memiliki masa kelam dari masa lalunya. Saling membantu mewujudkan tujuan yang sama-sama mereka inginkan. Tak sengaja bertemu dengan keadaan yang saling menunjukkan bahwa mereka ha...