37. He is Mine

1.1K 161 121
                                    

Jennie terus bergerak dalam tidurnya. Rasanya sangat tidak nyaman mau dia mencoba posisi apapun—ya walaupun memang semenjak kehamilannya makin besar dia tidak bisa sembarangan tiduran.

Perempuan hamil itu menghela napas lalu perlahan duduk dan bersandar pada tempat tidur.

Kening dan pelipisnya berkeringat padahal pendingin ruangan masih menyala dengan suhu yang rendah tapi tetap saja tidak menghilangkan rasa gerah Jennie.

Dia kembali menghela napas panjang sambil mengelap keringatnya sendiri. Matanya tidak sengaja melirik jam yang sudah menunjukkan pukul setengah dua pagi.

Semenjak usia kehamilannya menginjak minggu ke tiga puluh, Jennie jadi lebih mudah lelah dibanding sebelum-sebelumnya. Benar-benar gampang kelelahan dan harus sering-sering duduk atau berbaring karena kakinya yang sudah mulai sakit jika berdiri terlalu lama.

Jam tidurnya pun jadi lebih tidak teratur. Nafas juga mudah sesak karena perut yang semakin membesar.

Rasanya di keadaan seperti ini dia ingin menangis karena tidak kuat dan lelah tapi di sisi lain dia selalu teringat dengan anaknya di dalam perut. Anak itu juga pasti sedang berjuang bersamanya.

Dan juga saat memikirkan hari persalinan yang semakin dekat membuat perasaan Jennie takut secara tiba-tiba. Pikiran-pikiran aneh nyaris selalu datang setiap dia memikirkan hari melahirkannya akan segera datang.

Bukannya Jennie tidak senang hamil atau tidak ingin melahirkan. Dia senang kok hamil seperti sekarang, bahkan sangat senang apalagi ada Jeffrey yang selalu berada di sisinya. Ditambah dia akan segera menyambut princess mereka di dunia ini.

Tapi perasaan takut yang beberapa kali mampir dalam pikiran dan hatinya tidak bisa dia kendalikan.

Jennie menatap Jeffrey yang tidur dengan tenang di sebelahnya. Laki-laki itu baru terlelap dua jam lalu setelah Jennie rewel meminta ini dan itu, belum lagi tadi dia juga terlambat minum susu ibu hamilnya.

Jennie butuh Jeffrey sekarang tapi merasa terlalu tidak tega untuk membangunkan laki-laki itu. Suaminya kelihatan sangat lelah.

Jadi berakhirlah Jennie menangis sendirian. Padahal sebenarnya dia tidak ingin menangis, tapi sayangnya suasana tiba-tiba terasa menyedihkan untuknya. Ditambah lampu kamar yang remang karena hanya lampu tidur yang menyala.

Benar-benar sangat mendukung.

Awalnya hanya air mata saja yang keluar namun dilanjut dengan isakan pelan sampai membuat Jeffrey terbangun.

Laki-laki itu panik setengah mati saat melihat istrinya menangis dan Jennie juga semakin terisak saat melihat Jeffrey terbangun.

"Jennie?" Panggil Jeffrey berusaha setenang mungkin.

"Hey.. kenapa?"

Jeffrey membawa istrinya ke dalam pelukan dan mengusap-usap punggung wanita hamil itu dengan lembut, berharap bisa menenangkannya.

"Sayang, kenapa nangis?"

Jennie masih terisak dan akhirnya Jeffrey tidak bertanya apapun lagi. Dia hanya diam sambil terus berusaha membuat istrinya nyaman di dalam pelukannya.

Setelah hampir sepuluh menit berlalu barulah tangis Jennie reda. Perempuan itu mengatur napasnya agar terasa lebih nyaman karena sejujurnya saat menangis tadi ia merasa cukup sesak.

"Jef.."

"Iya, Sayang?"

"Capek, Jeffrey.. Takut juga..." Lirih Jennie di dalam pelukan suaminya.

Jeffrey yang menatap lampu tidur sambil mengusap punggung Jennie terdiam.

Dia tahu kalau istrinya beberapa kali merasa takut. Dan akhir-akhir ini Jennie memang suka mengeluhkan hal itu.

La Nostra CasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang