21. Wildest Dream

1.3K 208 102
                                    

"Jeffrey..."

Jennie menatap langit-langit kamar Jeffrey dengan tatapan sayu, membiarkan laki-laki di atasnya mengecup lehernya.

Deru nafas berat perempuan itu terdengar di telinga Jeffrey.

"Jef..."

Kecupan Jeffrey turun dari leher menuju tulang selangka Jennie. Menciumnya dalam sembari menikmati aroma perempuan yang rambutnya sudah tergerai berantakan di atas bantalnya.

Jennie meremas bahu Jeffrey dengan kuat sambil menyalurkan sesuatu yang ingin meledak di dalam dirinya.

"Jennie."

"Jef."

Jeffrey mendekat pada telinga Jennie dan mengcupnya lembut sebelum berbisik,

"I love you."

Kelopak mata itu bergetar dan sedetik kemudian terbuka. Hembusan napasnya berderu dengan keringat yang membasahi pelipis dan dahi.

Jeffrey menatap sekelilingnya, hanya lampu tidur tamaram sebagai penerang kamarnya malam ini.

Dia menatap sisi kanannya yang kosong dan dingin lalu tersadar jika yang barusan terjadi hanyalah sebuah mimpi.

Jeffrey bangun dari tidurnya perlahan kemudian menekan dada kirinya. Jantungnya berdegup kencang dan napasnya masih belum stabil.

Rasa mual yang sebelumnya terus dirasakan Jeffrey untungnya tidak terasa lagi sejak dia kembali ke Jakarta.

Laki-laki yang rambutnya berantakan itu menunduk dan mengusap dahinya yang dibasahi keringat. Menggigit bibir cukup kencang sambil berusaha menghilangkan bayang-bayang di dalam mimpinya tadi.

Suara, aroma, bahkan deru nafas Jennie masih terngiang di kepalanya.

Jeffrey menggeleng pelan untuk mengusir semua pikirannya yang tidak masuk akal.

Laki-laki itu mengambil kaos putih polosnya yang tenggelam di balik selimut kemudian memakainya.

Membuka pintu kamarnya dan mendapati kekosongan yang mengisi ruang tengahnya malam ini. Hanya ada cahaya bulan yang menembus lewat jendela besar.

Jeffrey menuang air putih ke dalam sebuah gelas tinggi dan meneguknya sampai tersisa setengah.

Tubuhnya menyender pada meja pantry sedangkan matanya menatap gelas di tangannya dengan tatapan sayu.

Dia mendongak, menatap lampu dapur yang padam. Hanya lampu tinggi di sudut ruangan yang menjadi penerang sehingga pencahayaan terasa cukup remang.

Bayangan yang ada di dalam mimpinya kembali muncul.

"Shit..."

Laki-laki itu membekap mulutnya sendiri dengan telapak tangannya yang kosong kemudian sedikit menundukkan kepalanya menatap sisa air yang berada di dalam gelas.

Perasaan ini, dia baru menyadarinya.

"I'm in love."

***

"I knew it from the start." Ucap seorang perempuan dengam rambut pirang yang sedang memotong potongan kue cokelat menggunakan garpu.

Jeffrey menatap Annika bingung. "From the start?"

Perempuan SMA itu mengangguk malas sambil mengunyah potongan kue cokelat yang Jeffrey bawa saat laki-laki itu datang ke rumahnya—ralat rumah keluarga Soedirdja.

"Kamu itu memang udah cinta sama that girl sejak awal."

"Namanya Jennie."

"Ya, ya. That Jennie girl." Koreksinya lalu meneguk orange juice yang ada di atas meja.

La Nostra CasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang