Dilla baru saja selesai meeting di lantai dua dan langsung menuju pantry untuk membuat teh ketika Guntur—seorang Frontend Engineer di timnya—menghampiri.
"Kak," Guntur mendekat. "Gue mau pengakuan dosa, nih."
"Nggak mau denger, nggak mau dengeeer!" Dilla menggelengkan kepala berulang kali sambil mengisi mugnya dengan air panas dari dispenser.
Guntur tertawa. "Yah, serius, nih, kak."
Saat Dilla baru saja hendak menjawab, perhatiannya teralihkan oleh sesosok laki-laki bertubuh tinggi tegap dan berdada bidang yang sandar-able. Pria itu berjalan memasuki pantry, bertatapan dengan Dilla lalu menyapa dengan kedikan dagu dan senyum setengah yang membuat jantung Dilla kebat-kebit.
"Gue ada salah construct gitu buat component yang di halaman landing page. Terus jadi ngaruh juga ke backend." Ucap Guntur menjabarkan dosanya. Sedangkan Dilla, yang berjalan ke arah salah satu meja makan di pantry itu, mengerling ke arah Abil yang sibuk meracik kopi instan di kitchen counter.
Dilla menaruh mug berisikan teh panasnya di atas meja, lalu menghembuskan napas panjang seraya bersedekap. "Lalu?"
"Jadi backend perlu construct ulang juga buat bagian itu." Lanjut Guntur.
Mata Dilla memejam lelah, tarikan napasnya begitu dalam dan berat sebelum kemudian ia kembali menatap Guntur dengan tajam. "Banyak? Seberapa gede effortnya? Estimasi berapa lama buat construct ulang?"
"Ya, paling sehari."
"So, what's the problem? Get it done today, shall we?" Dilla mengedikkan bahunya dengan santai.
"Dih, mergingnya jam 5 nanti, Kak." Sahut Guntur cepat.
"Minta tungguin nggak bisa? Atau apa itu—cherry pick atau apa itu yang biasa Leon lakuin." Tawar Dilla. Seingatnya Leon—Quality Assurance engineer mereka—pernah melakukan sesuatu untuk menyusulkan development yang telat ketika sudah mau rilis fitur. "Backend bisa nyusul aja, kan. Paralel sama rilis."
"Nggak bakal keburu, kak," Jawab Guntur lagi. "Kan, gue butuhnya sehari. Perlu dites dulu juga, kan, sebelum merge ke release branch."
"Yaelah." Desah Dilla putus asa.
"Sorry banget, ya, kak. Kayaknya perlu mundur rilisnya jadi minggu depan." Guntur meringis menampakkan wajah tak enak. Namun apa gunanya juga ringisan itu? Dilla tetap harus memundurkan peluncuran fitur terbaru di dalam halaman utama blog mereka padahal target rilis awal harusnya dua minggu yang lalu.
"Ya, udah. Mau gimana lagi."
"Sorry banget, kak." Ucap Guntur sekali lagi.
"Iye," balas Dilla sok galak. "Minggu depan harus rilis, ya. Udah mundur sebulan, nih."
"Oke, siap." Jawab Guntur mantap sebelum kemudian pamit pergi duluan dari pantry.
Dilla mengambil mug miliknya dan berjalan keluar pantry. Namun langkahnya terhenti mendadak ketika Abil yang juga hendak berjalan keluar dari arah kiri hampir menabraknya.
"Hampiiir aja," ucap Abil seraya mengelus dadanya yang tampak bidang dan keras itu. "Gue belum pengen coba mandi kopi. Kopi panas lagi."
Dilla tersenyum sambil mencebik. "Itu, sih, bukan mandi. Lebih ke kena azab."
Tawa mereka kompak berderai seiring langkah mereka kembali terayun beriringan menuju ke area kerja mereka.
"Lagi suntuk, nih, kayaknya."
"Gue?" Dilla menunjuk dirinya sendiri. Abil tersenyum simpul sambil menaikkan alisnya sekali. "Ya, biasalah. Project overdue, banyak issue ini itu, ditambah lagi gue, tuh, nggak ngerti-ngerti amat sama apa yang diomongin ama engineer. Dia mau bilang nggak bisa a, b, c, d juga, ya, gue percaya-percaya aja. Toh, gue nggak ngerti bener apa nggak masalahnya seberat itu apa nggak sampai harus makan waktu lama."
Abil terdiam dan hanya mengangguk-angguk pelan.
"Terus resource kita, kan, sharing juga. Jadi gue harus mencoba sabar-sabar kalau mereka bilang nggak bisa ngerjain punya gue karena masih caught up dengan task lain. Justification lama pengerjaan juga dari mereka semua, gue mana bisa nego-nego? Gue nggak paham kompleksitasnya," tambah Dilla, nyerocos deras seperti bendungan jebol. "Kesel, sih, mereka udah dikasih kebebasan nentuin estimasi waktu pengerjaan sendiri, ujung-ujungnya mundur terus. Kadang pengen marah tapi, ya, again ... gue nggak tahu kompleksitas kerjaan mereka. In the end, rather than bitching about it, gue harus lebih fokus ke workaround buat solusi."
"Betul, sih." Abil kembali mengangguk-angguk menyetujui.
"Eh, kenapa gue jadi curhat ke lo, ya?" Dilla tergelak geli. "Sorry, sorry."
"Dih, santai. Gue paham," Abil mengibaskan tangannya sekilas. "Kadang orang nggak perlu solusi, tapi cuma butuh didengar."
Sontak Dilla terdiam mendengar ucapan Abil barusan.
Kadang orang nggak perlu solusi, tapi cuma butuh didengar.
Kalimat itu juga pernah diucapkan Radit padanya, dan itu juga alasan mengapa Dilla sangat menyayangi Radit. Laki-laki itu selalu ada dan selalu menjadi pendengar yang baik. Namun ... kemana Raditnya itu pergi? Mengapa Dilla merasa Radit kini enggan mendengarkan segala bentuk ocehannya lagi? Apa laki-laki itu mulai lelah mendengarkan cerita-cerita dan keluhan-keluhannya?
Apa Dilla selama ini terlalu banyak bicara dan terlalu menuntut untuk didengar?
"Heh, kok bengong?" Tegur Abil sambil menyenggol pelan bahu Dilla dengan bahunya.
Dilla terkesiap. Ia menoleh dan memaku tatapannya kepada Abil yang tersenyum di sebelahnya.
Mereka sudah sampai di area meja Dilla berada. Langkah keduanya berhenti dan Dilla memutar tumit untuk berhadapan dengan Abil. Laki-laki itu pun mengikuti.
"Lo ... ntar sore sibuk nggak?" Tanya Dilla pelan dan terdengar ragu-ragu.
Abil mengerjap beberapa kali dengan wajah datar dan polos. "Ng ... gak, sih," jawab Abil panjang menunjukkan keragu-raguannya menjawab. "Kenapa?"
Dilla tahu mungkin seharusnya ia tak melakukan ini, tapi ... ia hanya sedang butuh teman.
"Mau temenin gue ke bengkel nggak? Mau ganti oli. Gue kurang paham. Biasanya sama Radit."
Abil tersenyum.
—————❤️🔥❤️🔥❤️🔥—————
KAMU SEDANG MEMBACA
The Illicit Affair
RomanceTW: Perselingkuhan, contains sexual activities, 21+, harsh words, sad and lonely girl, please read it wisely *** Tatap mata itu menjerat, lekat dan mengikis akal sehat. Sorotnya membuat jantung berdebar lebih cepat, berhasrat kemudian terpikat. Seny...