Sepulang dari perjalanannya bersama Radit, Dilla merasa semakin kehilangan arah. Pikirannya terus-terusan memutar ulang pengkhianatannya terhadap Radit—ketika Radit berkata bahwa ia berkomitmen pada hubungan ini apapun yang terjadi, Dilla malah bermain api dengan Abil.
Dadanya kembali merasakan perasaan yang tak dapat ia gambarkan. Kebingungan, sakit, marah dan sedih bercampur menjadi satu. Ia sadar, bahwa meskipun Radit tak selalu menghargai keberadaannya, bukan berarti Dilla harus menusuknya dari belakang.
Dilla menghembuskan napas panjang. Ketakutan yang kerap datang ketika ia sendirian kembali menyeruak ke permukaan—ketakutan akan kehilangan Radit. Pada akhirnya, bagai lingkaran setan yang tak pernah berakhir, Dilla memutuskan untuk kembali menjadi pihak yang selalu berusaha maksimal dalam hubungan ini karena ia memang lebih membutuhkan Radit daripada sebaliknya.
Langkah Dilla yang memasuki apartemennya terhenti di foyer ketika ia terkejut melihat Abil duduk di salah satu kursi meja makan.
"Abil?" panggilnya heran. "Kamu ngapain di sini?"
Pria itu tak acuh. Ia terlihat sibuk menekan tombol di atas laptop berulang kali. Raut wajahnya begitu dingin dan tak mempedulikan Dilla sama sekali.
"Katanya kamu ke luar kota?" tanya Dilla sambil menghampiri pria itu. "Kamu kenapa nggak bilang-bilang datang ke sini? Aku, kan, udah pernah kasih tahu kamu jangan datang ke sini tanpa sepengetahuan aku. Radit punya kunci. Kalau misalnya dia datang juga—"
"Gimana mau ngasih tahu kamu kalau nomorku kamu block?" potongnya dengan pertanyaan datar dan sinis, tanpa sama sekali menoleh ke arah Dilla.
Dilla menghembuskan napas panjang. "Sori. Tiba-tiba Radit kemarin datang. Dia ajak aku ke acara keluarganya, nginep di Bandung. Aku nggak bisa hubungin kamu. Aku nggak bisa ambil resiko—"
"Nggak bisa kasih tahu dulu gitu?" dengkus Abil dengan jari masih terus menerus menekan sebuah tombol di laptop—yang ternyata milik Dilla—berulang kali. "Emang nggak bisa ngabarin di sela-sela waktu kamu sama Radit? Kenapa harus diblock?"
"Dia suka pinjam hape aku. Dia tahu password hape aku—"
"Nggak bisa ganti nama aku jadi nama orang lain, gitu? Heni, kek? Dinda? Mayangsari? Mulan? Atau Mieke Ama—"
"Bil, kamu kenapa, sih?!" sentak Dilla sambil menatap Abil dengan tak paham.
Abil tak menjawab. Rautnya masih begitu terlihat dingin. Kesal. Seolah menyimpan amarah yang begitu besar. Meski demikian, tatap menusuknya tak sama sekali beralih dari layar. Jarinya masih terus mengetuk sebuah tombol yang sama terus-terusan.
Perhatian Dilla akhirnya teralihkan kepada apa yang sedari tadi Abil lakukan. "Kamu ngapain, sih?"
Dilla berjalan mendekat, dan matanya langsung membeliak begitu menyadari apa yang dari tadi menyita perhatian Abil.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Illicit Affair
RomanceTW: Perselingkuhan, contains sexual activities, 21+, harsh words, sad and lonely girl, please read it wisely *** Tatap mata itu menjerat, lekat dan mengikis akal sehat. Sorotnya membuat jantung berdebar lebih cepat, berhasrat kemudian terpikat. Seny...