19 | A Reason

1.7K 150 10
                                    

"Gue udah bilang, approach kita salah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Gue udah bilang, approach kita salah. Harusnya kita nggak jadiin blog kita fitur buat app engagement. Ini, tuh, lebih works buat traffic dari luar. Gue heran sama Waka. Pikirannya dimana, sih?" Dilla mendengarkan Frontend Engineernya—Dimas—misuh-misuh daritadi. "Sumpah, ini kayak buang-buang waktu banget. Kerja sedekah apa iseng-iseng kita?"

"Iseng-iseng. Ntar buat performance review juga nggak ada harganya, sih. Wong nggak ada performancenya." balas Guntur.

Dilla hanya bisa menghela napas panjang dan membuangnya lagi tanpa mengucap apa-apa. Matanya menerawang ke luar jendela, melamun ke arah sebaris orang yang sedang mengantri kedai kopi di taman gedung.

"Gimana, nih, Dil? Kalau mereka replicate halaman kita di tempat mereka, sama aja bohong. Traffic kita dari mana?" cerocos Dimas masih dengan rasa kesal dan dongkol.

"Kalau nggak ada entry pointnya, ya, nggak akan bisa. Kecuali kayak lo bilang—dari luar." imbuh Guntur. "Bisa, Kak, kita coba approach berbeda?"

Kepala Dilla benar-benar mau meledak. Rasanya kesal, marah, sedih, kecewa, bercampur jadi satu. Pekerjaannya dan timnya seperti tidak ada harganya. Kini dia harus melakukan sesuatu agar apa yang sudah dikerjakan timnya tidak sia-sia belaka.

Sorry, guys. Gue belum bisa jawab," Dilla memijat pelipisnya seraya menghembuskan napas. "Gue coba pikirin dulu, ya. Meanwhile, kita bisa fokus sama task lain dulu."

Dimas dan Guntur pun menghembuskan napas lelah yang sama.

"Ngeselin banget. Direction unit kita lama-lama nggak jelas," Dimas masih terus mengomel sambil menutup laptop. "Lain kali, lo coba pikirin dulu, deh, Dil. Kalau emang nggak penting, drop aja requestnya."

Dilla merasa tertohok. Rasanya peran Dilla sebagai Product Manager seolah dipertanyakan. Ia yang menjalankan project ini. Ketika semua tidak berjalan sebagaimana mestinya, harusnya ia yang bertanggung jawab.

"Iya, Dim. Sorry, ya." ucap Dilla pelan.

Melihat raut Dilla yang muram dan sedih, Dimas dan Guntur pun saling lihat-lihatan. Mereka merasa tidak enak karena terdengar menyudutkan Dilla. Padahal bukan itu maksud mereka.

"Kita nggak nyalahin lo, ya, Dil." ucap Dimas sambil menghampiri Dilla.

"Iya, kak. Kita tahu, kok, kakak dapat titah dari langit. Dari dulu, kan, emang gitu. Kita kerjanya top-down." tambah Guntur.

Dilla tersenyum masam. "Thanks. Mungkin emang guenya yang kurang kritis."

"Lain kali kita challenge rame-rame, deh. Biar paham juga, tuh, Waka kalau semua orang nggak setuju sama titahnya." Dimas menepuk bahu Dilla untuk memberikan semangat.

Guntur mengangguk.

"Iya. Untuk sekarang, gue coba discuss sama marketing. Kali aja kita bisa cari approach lain." Dilla kembali mengulas senyum kecil.

The Illicit AffairTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang