Tidur Dilla terganggu ketika ia mendengar suara ponselnya berdering memekakkan telinga. Dengan mata menyipit karena berusaha menyesuaikan pandangannya dengan cahaya, ia menoleh ke arah nakas tempat ponselnya berada.
"Siapa, sih?" suara berat di belakangnya bertanya.
Dilla mengulurkan tangan untuk meraih ponselnya di nakas, tapi seperti yang sudah-sudah, Abil selalu saja sulit melepaskan Dilla jika mereka sudah berdua di ranjang.
"Lepas dulu."
"Nggak mau. Ngantuk."
"Bil ..."
"Hmmm." Abil mengeratkan pelukannya sambil membenamkan wajahnya ke tengkuk Dilla.
Dilla menghembuskan napas. Pasrah
Sudah seminggu belakangan, ia tidak bisa mengenyahkan Abil di hidupnya. Pria itu selalu menempel seperti permen karet di sepatu atau serpihan kayu yang tersusup di kulit jemari—sulit dilepaskan.
"Kak Dani, Bil." ucap Dilla begitu berhasil meraih ponselnya. "Kamu jangan bersuara."
Tak mendapatkan jawaban dari Abil, Dilla menggeser tombol hijau di layar untuk menerima telepon itu.
"Halo?" sapa Dilla sambil mengerling ke arah jam yang menggantung di dinding.
Pukul setengah 7 pagi.
"Dil, tolong bantuin kakak," suara tangis Dani menyambutnya, membuat jantung Dilla seketika berpacu. "Kakak mohon. Kali ini kakak bakal lakuin dan terima apapun yang kamu bilang untuk kakak. Asal kamu mau bantuin kakak."
"Kakak tenang dulu. Ada apa?" rasa panik menyergap Dilla.
Tangisan Dani semakin terdengar kejar. "Jara nggak ada di rumah. Tadi kakak mau bangunin dia buat ke sekolah, tapi dia nggak ada."
"Semalam?"
"Kakak tungguin dia pulang sampai ketiduran, tapi kata Kiki ternyata Jara nggak pulang."
"Kakak udah tanya Mas Iqbal?"
"Kakak udah tanya teman-temannya. Kakak udah tanya sama bapaknya. Nggak ada yang tahu," isak Dani. "Gimana ini, Dil?"
"Kakak yakin Mas Iqbal jujur?" tanya Dilla curiga.
"Dia juga panik banget, Dil. Dia marah besar," jawab Dani sesenggukan. "Dia ngancem bakal laporin kakak ke polisi kalau Jara nggak ketemu juga. Dia bilang kakak nggak becus ngurus anak sampai anak kabur-kaburan terus."
Mendengar suara tangis kakaknya, Dilla pun jadi ikut iba. Emosinya terpantik begitu tahu ucapan mantan kakak iparnya itu. Bisa-bisanya dia memberikan ancaman seperti itu, sedangkan mengurus anak merupakan tanggung jawab keduanya—bukan hanya Dani saja.
"Ya, udah. Nanti Dilla coba bantuin," Dilla mengusap wajahnya sambil menghembuskan napas panjang. Di dalam hatinya, ia juga bingung, tidak tahu harus mencari Zara ke mana.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Illicit Affair
RomansaTW: Perselingkuhan, contains sexual activities, 21+, harsh words, sad and lonely girl, please read it wisely *** Tatap mata itu menjerat, lekat dan mengikis akal sehat. Sorotnya membuat jantung berdebar lebih cepat, berhasrat kemudian terpikat. Seny...