8 | The Lies were White

1.9K 146 7
                                    

Hari ini kepala Dilla rasanya mau pecah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hari ini kepala Dilla rasanya mau pecah. Banyak sekali hal yang berjejalan di kepalanya. Mulai dari pekerjaan sampai permasalahan keluarga.

Meeting tak berkesudahan yang mengharuskannya memeras otak untuk memecahkan masalah membuatnya tak punya waktu menjawab telepon dari Dani yang tampaknya masih kalang kabut dari tadi malam.

Kakak perempuannya itu sedang panik dan bingung karena putri sulungnya—katanya—kabur dari rumah. Ibu dan anak itu bertengkar entah tentang apa. Lalu Zara pergi sejak maghrib dan tak kembali-kembali hingga detik ini. Remaja berumur 15 tahun itu tidak ada kabar meski ia membawa ponsel bersamanya.

"Kak, aku lagi di kantor." Ucap Dilla saat Dani kembali menelponnya seperti sedang meneror.

"Bantuin kakak dulu, dong, Dil! Kakak mau minta tolong siapa lagi kalau bukan kamu?!" Cetus Dani dengan nada tinggi.

Dilla menghembuskan napas panjang setelah ia menghelanya dalam-dalam. Rasanya ada sesak mengganggu di dadanya. Namun ia memilih untuk mengabaikannya demi ketenangan khalayak ramai.

"Aku harus bantu kayak gimana?" Tanya Dilla berusaha tetap bersabar.

"Ya, nggak tahu! Lapor polisi, kek, atau apa!"

"Kenapa nggak minta bapaknya yang lapor polisi?"

"Halah! Ngasih nafkah aja nggak bisa, mau lapor-lapor polisi! Mana ada juga dia duitnya. Nggak ada gunanya itu orang!" Sergah Dani dengan cepat.

Dilla memejamkan mata. Jari jemarinya mengurut pelan dahinya. "Udah cari ke rumah dia?"

"Belom!"

"Lah?"

"Jara nggak suka sama bapaknya, kok! Nggak mungkin dia ke rumah bapaknya!" Dani ngotot seperti yang sudah-sudah kalau sudah menyinggung mantan suaminya.

"Ya, tapi satu-satunya tempat yang Jara tahu dan akan senang hati menampung dia, kan, cuma rumah bapaknya, kak. Kenapa nggak ditanya dulu, sih?" Decak Dilla sambil mengusap wajahnya dengan frustasi.

"Haduuuh! Kakak lebih tahu anak kakak, ya, Dil!"

Dilla rasanya ingin meledak. Kalau dia memang lebih tahu tentang anaknya, kenapa dia belum bisa menemukan anaknya dari semalam? Kenapa juga dia harus mengganggu Dilla kalau semua saran Dilla ia mentahkan?

"Kak, aku ada meeting lagi. Nanti—"

"Ck, ah!"

Lalu panggilan terputus.

Dilla tersentak kaget. Ia menatap layar ponselnya dengan tatapan tak percaya. Emosinya sudah merayap hingga ke ubun-ubunnya dan rasanya ia sudah siap menumpahkan murkanya ke segala arah.

Rasanya aneh sekali. Ia seolah dianggap tidak ada di hari-hari biasanya, tapi ketika kakaknya itu sedang kesulitan, mendadak dirinya seperti orang paling penting di dunia. Sedangkan dulu waktu Dilla sedang kesulitan karena tidak punya uang saat harus membayar uang wisuda, tak sepeserpun kakaknya itu berniat membantunya. Membantu mencari solusi saja tidak. Dilla sampai harus meminjam uang kepada Radit saat itu.

The Illicit AffairTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang