Abil menepati ucapannya kemarin—menjemput Dilla di apartemennya. Beberapa menit telah berlalu dan tidak ada satu kalimat pun yang ditukar antara dirinya dan Dilla di dalam mobil yang begitu hening itu.
Tatapan Dilla terlihat kosong, matanya bengkak dan sembab. Sudah pasti Abil bisa menebak bahwa Dilla habis menangis semalaman. Namun seperti yang pria itu siratkan dalam percakapan mereka kemarin, ia tidak begitu peduli atau ingin tahu akan huru-hara apa yang Dilla hadapi bersama Radit.
"Kamu kemana? Kenapa semalaman nggak balas chat atau telepon aku?" tanya Abil penuh selidik.
"Perasaan kamu bilang mau ngasih aku waktu buat sendiri." jawab Dilla datar, seolah tenaganya sudah terkuras habis.
"Iya, aku udah kasih, kan? Aku nggak ngotot datang ke tempat kamu." balas Abil dengan nada tak sabar.
"Nelponin sama chat aku terus itu ngasih waktu sendiri menurut kamu?" dengkus Dilla sinis.
"Iya."
"Gila."
Abil menoleh cepat, menatap Dilla dengan sorot tak terima. "Kenapa, sih, kamu?"
Dilla menarik napas berat, mencoba menenangkan kemelut yang bergolak dalam dirinya sebelum akhirnya berucap, "Aku putus sama Radit."
"Hah?" Abil tersentak, terdengar tak percaya.
Dilla membuang pandangannya ke luar jendela. "Semalam dia datang lagi ke apartemen aku. Dia ngajakin aku nikah, tapi aku nggak mau. Aku putus sama dia."
Suasana di dalam mobil tiba-tiba saja terasa semakin hening. Abil tidak langsung menjawab. Sedangkan Dilla terdiam, menatap kendaraan yang berlalu lalang meski tidak benar-benar memperhatikan. Pikirannya menerawang, memutar ulang adegan menyesakkan tadi malam. Dadanya masih terasa sakit bukan kepalang.
Lamunan itu buyar ketika kalimat yang keluar dari mulut Abil berikutnya adalah, "Kok bisa?"
"Maksud kamu?" Dilla mengerutkan alis, kepalanya berputar untuk kembali menatap Abil.
Abil tergagap. "Y—Ya, maksud aku ... kalian, kan, udah lama banget pacaran. Kok bisa akhirnya memutuskan berpisah? Biasanya orang yang udah lama pacaran, kan, susah untuk memutuskan pisah."
Kerutan di ujung alis Dilla semakin dalam. Ada sesuatu yang terasa janggal dalam pertanyaan Abil. "Terus menurut kamu, aku harusnya terima aja ajakan dia nikah?"
"Bukan begitu—"
"Aku ngerasa udah nggak pantas buat dia, Bil. Aku udah khianatin dia separah ini. Aku nggak ngerasa hubungan kita berdua bisa lebih baik dari ini. Kamu juga yang bilang kalau hubungan yang terlalu lama nggak seharusnya dijadikan alasan untuk mempertahankan ketidakcocokan," potong Dilla dengan cepat. "Mungkin sebenarnya aku nggak cocok sama Radit."
Abil kembali diam. Tak ada jawaban yang keluar dari mulut pria itu dan hal itu benar-benar membuat Dilla kebingungan. Firasatnya mendadak membuat hatinya tidak nyaman.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Illicit Affair
RomansaTW: Perselingkuhan, contains sexual activities, 21+, harsh words, sad and lonely girl, please read it wisely *** Tatap mata itu menjerat, lekat dan mengikis akal sehat. Sorotnya membuat jantung berdebar lebih cepat, berhasrat kemudian terpikat. Seny...