Selikur : Hitam Putih

167 31 3
                                    

"Melihat kamu dalam layar monitor hitam putih adalah salah satu kebahagiannya."

An : aku skip dikit waktunya ya

.

.

.

Bekasi, November, 2004.

Matahari senja digantikan sang rembulan, langit mulai menggelap dengan bintang yang begitu terang di sana. Mereka tengah bersiap karena Yaswa mengajak Danur untuk memeriksa kesehatan si bayi, ingin lihat saja, walau Danur yakin kalau bayinya saja belum terlihat sempurna.

Sejak tadi Danur menunggu Yaswa di ruang tamu seraya menggendong Ira, entah melakukan ritual apa dulu Yaswa, tapi ia sangat lama, terhitung sudah hampir setengah jam Danur duduk di sofa, membuat Danur jadi khawatir, tapi akhirnya menghela nafas lega kala Yaswa keluar dari kamar seraya mengikat surainya ke belakang.

Ah ya, surai pirang kecoklatan Yaswa mulai panjang, Yaswa ogah memotongnya, bagus katanya. Danur iya iya saja, ia juga tidak akan memaksa Yaswa bersurai pendek seperti dulu lagi, senyaman Yaswa saja.

"Kedip mas, kaya ga pernah ngeliat aku aja." Danur mengerjap lantas terkekeh, ia tertangkap basah rupanya.

"Anteng banget Ira tumben, biasanya kalau ga denger detak jantung ibu nya nangis." Yaswa mengambil alih Ira dari gendongan Danur, lantas mencium pipi Ira yang sudah dengan pintar tidak menangis saat ada di gendongan Danur.

"Bagus dong, nanti kan semakin besar perutmu semakin susah kamu gendong Ira." 

Yaswa mengabaikan Danur, masih terfokus pada Ira yang merespon dirinya. Danur jadi gemas sendiri, semenjak Ira pintar mengoceh dan berekspresi, mereka jadi semakin dekat, tak terbayang kalau suatu saat Yaswa meninggalkan mereka tiba - tiba.

"Dah yuk berangkat, kalau malem - malem takutnya antri." Danur mengangguk setuju, ia beranjak lebih dahulu, karena tiba - tiba ia berpikiran menunjukkan sesuatu pada Yaswa.

"Kita tit-"

"Ga ga! Ga usah dititipin Ira, aku mau mengeluarkan sosok yang sudah lama terpendam dalam garasi, tunggu dulu ya."

Yaswa mengernyit heran tapi akhirnya mengangguk, ia tak berharap banyak pada Danur yang kini tengah susah payah membuka garasi yang jarang dibuka itu, karena terkadang Danur tak dapat diharapkan. Yaswa ingin membantu Danur sejujurnya, tapi ia diminta menunggu, sedang menggendong Ira pula, masa iya ia taruh Ira di tanah?

Suara bersin Danur menggema seketika kala pintu garasi berhasil dibuka, disusul dengan Yaswa yang ikut bersin tapi tak seheboh Danur karena debu yang berterbangan. Bukan lagi tak heboh, malah tak bersuara, walau tadi Yaswa tak menutup hidung dan mulutnya kala bersin.

"Nah, ini dia, si Lancery." Danur menepuk mobil sedan putih yang cukup membuat Yaswa terkejut.

"Ini... lancer evolution tujuh?" Danur mengangguk mendengar pertanyaan Yaswa, cukup membuat Yaswa tertegun.

"Mobil hasil tabungan sama nge band, lumayan, jarang dipakai tapi mesin masih oke, dulu sering dipakai waktu mas masih semester dua."

Kalau begini, Yaswa jadi curiga sebenarnya Danur merantau karena ingin tahu rasanya hidup susah. Ya bayangkan saja, ini mobil yang cukup mahal walau keluaran 2 tahun lalu, tapi tidak mustahil juga kalau Danur sungguh menabung, toh, Danur sendiri juga bilang kalau uang band lumayan besar walau harus kerja sampai lupa tidur, makan dan minum.

"Tuh kan bener mesinnya masih oke, jadi nanti kamu ga usah duduk bungkuk di atas motor, tinggal senderan di kursi mobil." Danur kembali menutup kap depan mobil setelah memeriksa mesin - mesin mobil satu - satunya itu, karena sejujurnya ia lebih suka mengoleksi motor ketimbang mobil.

Violin and Guitar | Jongsang [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang