Pitu Likur : Hari yang terulang

137 28 15
                                    

"Empat belas februari yang terulang walau dalam status yang berbeda."

.

.

.

Bekasi, Februari, 2005.

Malam ini mereka berdua pergi, hanya berdua, dengan Ira yang dititipkan pada bibi. Danur masih tak kuat sejujurnya karena lukanya masih baru, tapi Yaswa yang meminta keluar rumah membuat ia mau tak mau menuruti karena tak tega, padahal Yaswa tadi sudah berkata tidak perlu, ia akan keluar bersama Yuwa atau Sahadya saja. Tapi, yang namanya Danur, sudah pasti ngeyel kalau kata orang, menuruti perkataan Yaswa walau sebenarnya ia tak mampu juga.

Ala romantis anak remaja, mereka naik motor pula karena Yaswa yang memang meminta, sudah gitu motor balap yang dipakai. Jangan salah, walau begini, Danur juga pernah menjadi anggota geng motor seperti yang ada dalam novel fiksi remaja, tapi bukan versi nakal yang suka balap liar di jalan raya.

Tak begitu rapi juga apa yang mereka pakai, Danur yang hanya menggunakan jaket kesayangannya dan celana panjang, berbeda dengan Yaswa yang menggunakan kemeja dilapisi jaket lumayan tebal dan celana pendek juga half skirt yang pernah ia tunjukkan pada Danur.

Sama seperti tahun kemarin, mereka akan berburu makanan juga malam ini, bedanya kini tak di pinggir jalan, tapi pasar malam yang kebetulan ada malam ini. Ya, ini malam 14 februari, hari yang katanya akan dikutuk oleh Danur tapi nyatanya malah menjadi hari yang menyenangkan bagi Danur.

Mungkin lebih menyenangkan bagi Yaswa yang langsung turun setelah mereka sampai di tempat parkir, binar di mata Yaswa begitu kentara, layaknya anak kecil yang baru diajak ke pasar malam oleh orang tuanya.  Seperti waktu itu, Danur kembali ditarik - tarik oleh Yaswa untuk cepat masuk ke pasar malam seraya berlari, ngeri juga Danur, jadi setelah masuk, Danur langsung menuntun Yaswa untuk berjalan daripada berlari.

Yaswa rupanya masih seantusias itu perihal makanan, lihat saja, baru masuk sudah menghampiri jajanan yang kita kenal sebagai rambut nenek, bukan benar - benar terbuat dari rambut nenek nenek, tapi itu arum manis dalam versi kasar saja seperti rambut nenek - nenek yang tak pernah disisir.

Dan pastinya, lagi - lagi Danur mendapati tubuh Yaswa yang menggigil padahal Danur rasa Yaswa sudah memakai jaket yang lumayan tebal, membuat ia kembali merangkul Yaswa dengan erat agar Yaswa tak menggigil lagi. Setelah beli si rambut nenek Danur langsung meminta Yaswa untuk duduk di sebuah warung lesehan yang kebetulan ada di dekat sana, sedang ia memesan minuman hangat untuk Yaswa yang masih menggigil.

Yaswa duduk sendirian sekarang, menunggu Danur yang sepertinya lama sekali pergi meninggalkannya. Helaan nafas terdengar dari bibir tipisnya, ia mengeratkan jaketnya karena ia merasa kedinginan, bahkan semu merah di pipinya sampai begitu kentara karena ia kedinginan.

"Maaf lama, diajak ngobrol bentar tadi." Selang menit menunggu akhirnya Danur kembali dengan satu gelas teh hangat dan kopi juga tentunya sebungkus batang nikotin yang sering ia hisap akhir - akhir ini. 

"Mas ga bakal ngerokok di sini, jangan khawatir." Seolah mengerti arti tatapan Yaswa yang terus menatap ke arah bungkusan batang nikotinnya lantas Danur menyahut, dibalas anggukkan oleh Yaswa yang tentu mengerti.

"Tadi diajak ngobrol apa emang?" Yaswa bertanya perihal alasan Danur sedikit lama tadi.

"Ya biasa mah obrolan tentang kamu, Ira sama mas aja, antisipasi takut kamu dicolek karena tadi si bapak bapak sempat tanya kamu siapa." Danur menjawab seraya terkekeh kecil, mendadak ia teringat obrolan tadi.

Violin and Guitar | Jongsang [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang