Tiga Welas : Tembang tengah malam

211 39 14
                                    

"Sebuah kenangan yang ga bakal bisa papa lupakan."

.

.

.

Kudus, Agustus, 2004.

Sudah satu bulan berlalu sejak kejadian yang membuat Danur ingin menenggelamkan keluarga Yaswa ke sungai Bengawan Solo. Kala Danur bertanya lebih lanjut pada Lanang kemarin, Lanang juga ikut terkejut, malah Lanang bilang "Demi Tuhan, Nur, gue gatau apa - apa, waktu ditunjukkin testpack ama bunda juga gue langsung emosi, tapi masalah luka di pinggul Yaswa gue juga gatau."

Danur bingung sendiri, ini siapa yang salah? Dia ini kan cuma gitarist bukan intel, ya dia juga tidak tahu apa - apa. Kata Lanang, orang tuanya juga jadi suka bepergian sejak Yaswa menikah dengan Danur, apa tidak semakin aneh seperti itu? Bahkan katanya, guru biola Yaswa juga kaget waktu dengar Yaswa sudah menikah, tapi juga bersyukur karena Yaswa terpisah dari kedua orang tuanya.

Ini aneh, tapi mari kembali dalam cerita utama.

Danur sedang di pos ronda malam ini, para anak muda kampung diminta berkumpul karena sebentar lagi kan hari kemerdekaan. Danur jadi kembali bertemu dengan teman - teman lamanya, seperti temannya yang bernama Rinjani, Anna, Hasan, Cakrawala, Jonathan dan ketuanya alias yang paling tertua, Mahadri yang selalu disebut mas Madri oleh anggotanya.

"Jadi, karena mau agustusan, ayo rek rundingan acara yang meriah, sekalian lomba - lombanya." Madri mengawali ucapan, seraya menyesap kopi hitam yang sempat ia pesan di warung kopi dekat pos ronda.

"Lomba mancing!" Hasan memberi usulan, dibalas pukul di kepala oleh Rinjani yang membuat Hasan hanya menyengir tak bersalah.

"Itu aja mas, opo sih, yang itu loh." Anna tampak berpikir keras, lantas tiba - tiba menjentikkan jarinya "tari kreasi!"

"Lohh yo bocah sd tok sing melu toh na na (Lohh ya hanya anak sd yang iku toh na na)." Danur menyahut, membuat Anna merengut kesal.

"Yo ora toh cung, orang desa kita loh kreatif kreatif, buktine batu - batu ndek sungai kae wes dadi bendera Indonesia." Anna menunjuk ke arah sungai dekat pos ronda, benar juga, batu yang awalnya memiliki warna sesuai kodrat sekarang sudah merah putih semua, mana terkena air juga tak hilang warnanya, hebat sekali.

"Iyo wes, tari kreasi masuk." Madri mencatat usulan Anna, daripada nanti Anna mengamuk seperti dulu, sampai - sampai lentera yang mereka pakai sebagai penerangan harus rusak gara - gara Anna.

"Eh sek sek mas, garwa (istri) ku nelpon." Madri hanya mengacungkan jempolnya mendengar ucapan Danur, lantas lebih memilih untuk menanggapi usulan para anggotanya yang ribut sendiri.

Danur memutuskan untuk berdiri di pinggir sungai, entah ada angin apa tiba - tiba ia ingin memasukkan kakinya ke dalam air mumpung arus terlihat tenang malam itu. Danur duduk di salah satu batu yang kata Anna sudah menjadi bendera Indonesia itu, menggulung celananya lantas menjawab panggilan Yaswa seraya merendam kakinya.

"Mas, aku nyusul yo ke pos ronda." Danur terkejut sendiri mendengar kalimat pertama yang Yaswa lontarkan.

"Ora ana, balik tidur, ini juga rapatnya cuma sebentar, udah tengah malam loh dek, sawan nanti dedeknya."

"Apa sih, isi aja belum." Danur tertawa lumayan keras, ada kesenangan tersendiri kala menggoda Yaswa.

"Nggih pun, engken mas tak nyuwun ten Pangeran ben sampean cepet isi (Ya sudah, nanti mas mau minta ke Tuhan biar kamu cepet isi). "

Violin and Guitar | Jongsang [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang