Sekawan likur : 1 Januari

158 29 8
                                    

"Sebuah malam yang sejenak begitu istimewa."

An : jumpscare

.

.

.

Bekasi, Januari, 2005.

"Si Danur lama amat anjir beli jajanan, udah tengah malem ini, dia beli jajanan di Arab apa ya? Apa dia sekalian umroh?"

Bab dibuka dengan keluhan Umbara yang hampir mengering di depan panggangan dengan daging steak yang setengah matang di sana. Benar, sudah hampir setengah jam Danur pergi tapi tak kunjung kembali, lama sekali, Umbara kira Danur hanya sebentar karena supermarket lumayan dekat dari sini.

"Tunggu aja, mungkin macet, lu tahu sendiri kan Kalimalang padatnya kaya gimana? Apalagi malam tahun baru begini, beuh, itu paling sekarang Danur lagi mengering di atas motor." Sahut Sambara seraya menyantap daging yang baru saja selesai dipanggang oleh Sahadya.

"WEH PANAS TULUNG!"

"MAMPUS!"

Setelahnya, hanya terdengar suara Yuwa yang memarahi Sambara hingga rasanya telinga Sambara panas sendiri mendengarnya. Yang lain hanya geleng kepala, ada - ada saja Sambara ini, tapi seru juga melihat Yuwa memarahi Sambara padahal sudah begitu sering.

Mereka ada di taman belakang rumah yang sudah jadi milik keluarga kecil Cokroatmojo itu, karena katanya di sini yang luas, akal akalan Yukti saja sih sebenarnya karena ia sudah muak melihat teman - temannya selalu membuat acara di rumahnya. Ya bagaimana, satu - satunya tempat yang aman hanya rumah Yukti, rumah Sambara dan Umbara ada di pinggir jalan dan terlalu berisik, dulu Danur tinggal di kontrakan juga sempit sekali lahannya.

Bila yang lain sibuk berkutat ini itu, berbeda dengan Yaswa yang tidak diperbolehkan melakukan apapun oleh teman - temannya itu. Yaswa hanya diminta duduk diam, bahkan kini Ira tengah dipegang oleh Hesta, katanya Yaswa tidak boleh melakukan apapun kecuali duduk, ya seperti...

"Aku mau bantu kak Sahadya..."

"GA BOLEH!"

...itu.

Tapi itu bukannya membuat Yaswa senang, malah ia kesal, kan ia ingin membantu, masa sebagai tuan rumah ia enak - enak duduk? Tapi ia juga menyadari perutnya yang membesar, pantas saja tak ada yang memperbolehkannya bangkit dari duduk, apalagi kala ia baru berdiri saja si bayi sudah menendang perutnya, seolah protes kalau ia tak boleh berdiri dan harus selalu duduk.

Yaswa menghela nafas bosan, sampai pening ia melihat teman - temannya mondar mandir ke sana kemari, menyiapkan ini itu bersama bibi karena akang sudah tidur, malas katanya ikut acara anak muda begini. Bibi juga ikut mengurus Ira, tapi lebih ke Hesta yang ingin terus bersama Ira, tadinya Ira tidur, hanya saja mungkin karena suara berisik jadi Ira terbangun dan tak dapat tidur lagi.

"Yas, gua mau nanya serius deh." Hesta tiba - tiba duduk di sebelah Yaswa seraya memulai percakapan.

"Tanya aja."

"Produksi bocah sakit ga sih?"

Yaswa mengernyitkan dahinya, "ya tergantung kondisi sih, kita cukup rileks aja, kalau belum pernah ngelakuin rasa di awal emang sakit tapi lama - lama jadi biasa aja dan malah bikin ketagihan-loh, dari pertama habis nikah belum pernah?"

Hesta tertawa canggung, "belum, hehe, takut, disentuh aja aku gamau."

"Lah... tapi bener loh kak, bukan mau sesat apa gimana ya, cuma rasanya memang gitu, sekali berbuat bikin nagih, jangan takut buat berhubungan intim, kan udah bukan pacaran lagi, bukan sama suami orang juga, kecuali kalau kakak berhubungan intim sama suami tetangga nah baru takut gapapa." Yaswa tak menjelaskan begitu gamblang, hanya menjelaskan poin inti saja, toh, yang penting dimengerti.

Violin and Guitar | Jongsang [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang