Tiga Dasa Tiga : Tersirat

148 26 8
                                    

"Kisahnya belum berakhir begitu saja."

.

.

.

Bekasi, April, 2005.

Malam yang membahagiakan bagi mereka di sabtu malam yang indah ini, di mana kini mereka memeriksakan kandungan Yaswa. Mereka akan menghadap layar dengan nuansa hitam putih lagi, tapi dengan bentuk fisik janin yang lebih sempurna.

"Lihat, dia sudah mau menunjukkan identitas dirinya, dia laki - laki!" Sang dokter berucap riang, seolah ikut merasakan betapa senangnya Yaswa dan Danur saat ini.

Terlihat si janin bergerak menendang, bahkan mungkin sekarang terlihat mencari posisi nyaman, membuat mereka terkagum melihatnya. Ruangan yang sekiranya begitu sempit itu bisa digunakan untuk seonggok janin dan si janin masih bisa bergerak - gerak di sana menunjukkan kalau ia sehat.

"Boleh kembali, ya, ini saya beri vitamin juga, mama ayo jaga kesehatan, semoga cepat sembuh, ya!"

Senyuman yang jarang terpatri tatkala datang ke dokter itu terpatri jua di wajah mereka berdua. Saat keluar pun rasanya mereka masih tak dapat menahan senyuman, apalagi Yaswa yang duduk di kursi roda seraya masih memperhatikan foto hitam putih yang mereka tadi diberikan oleh dokter setelah periksa.

Sampai di ruangan Yaswa, masih terlihat Yaswa yang terus menatap foto itu. Danur harus rela mengangkat tubuh Yaswa ke brankar, walau tak langsung ia dudukkan di brankar, tapi ia dudukkan Yaswa di pangkuannya, berusaha meraih perhatian si cantik yang kini ada di pangkuannya.

"Udah, ini yang mangku mau ngomong." Danur mengambil perlahan foto yang dipegang Yaswa, membuat Yaswa lantas mengalihkan perhatian pada Danur.

"Mau kasih nama apa buat dedek?" Yaswa tampak berpikir lantas tersenyum misterius, membuat Danur mengernyit heran.

"Rahasia~" Danur mendengus kesal, membuat Yaswa terkekeh dibuatnya.

"Nanti aja aku kasih tahu kalau dia mau lahir, atau mungkin setelah dia lahir? Untuk sekarang sampai nanti kita panggil aja pakai sebutan 'Esa', ya dedek, ya?" Yaswa mengusap perutnya sendiri seraya berucap, dengan tendangan sosok yang ia panggil 'Esa' menjawab, membuat keduanya terkekeh karena 'Esa' menjawab.

"Kenapa harus Esa?" Danur bertanya, tentu dengan penuh penasaran karena ia cukup terbingung mengapa Yaswa ingin menyebutnya dengan nama 'Esa'.

"Hmm... kenapa, ya? Aku cuma berpikir asal, tapi juga mungkin cocok buat dia, Esa artinya tunggal, bukan berarti karena dia anak tunggal, tapi karena dia hanya ada satu di sini," Yaswa menatap ke arah perutnya sendiri yang membesar itu "dan dari nama yang aku rahasiakan itu, ada unsur Esa juga di sana, gimana?"

"Menarik, buat nama belakangnya, gimana kalau kita sematkan nama kita? Mungkin kaya... Danuswa?" Sedikit terkejut Danur kala si bayi merespon dengan tendangan, seolah mengerti Danur berkata apa.

"Danuswa Cokroatmojo?" Si bayi lagi - lagi merespon, dengan tendangan yang kini sedikit lebih keras, membuat Yaswa meringis sakit.

"Santai dong, Esa, jangan bikin mama sakit, hm?" Tendangan si bayi mulai tenang kala Danur bicara seraya mengusap perut Yaswa yang tertutup piyama lumayan panjang dan kebesaran itu, seolah merasa bersalah karena membuat sang mama merasa kesakitan.

"Ke Ira disuruh manggil ibu, ke Esa disuruh manggil mama, konsepnya gimana, sih?" Yaswa bertanya dengan nada bercanda, tentu dengan tertawa.

"Esa cocoknya panggil mama, Ira cocoknya panggil ibu, cocok cocokkan ceritanya." Konyol jawaban Danur, tapi cukup membuat mereka tertawa sejenak.

Violin and Guitar | Jongsang [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang