"Papa menangis!"
Esa memekik kala melihat air mata turun begitu saja dari kedua manik sang papa. Danur sontak mengerjap lantas menghapus air matanya, terkekeh ke arah sang putra yang tengah menatap panik ke arahnya.
"Papa gapapa, Esa, cuma agak sedih aja ini cerita-ah anjrit," Danur menjeda ucapannya, kembali menghapus air matanya lantas berkata, "jadi, mama yang punya biolanya, alasan klasik memang, tapi biola itu berharga dan menyimpan banyak kenangan."
"Jadi mama tiada setelah aku lahir ke dunia?" Esa bergumam lirih, seraya menundukkan kepala sebab tiba - tiba rasa bersalah menyeruak dalam dirinya.
Danur tersenyum sendu mendengar gumaman Esa, ia merangkul bahu sang putra yang sudah beranjak hampir dewasa itu lantas mengangguk, "benar, tapi jangan merasa bersalah, toh, garis takdir kematian ga ada yang tahu, Esa, bisa aja abis cerita gini-"
"Waduh seru amat, cerita apa nih?" Ira bergabung tiba - tiba, seraya merangkul bahu Esa yang duduk di sebelahnya.
"Cerita kapan lo bisa tobat dan berhenti ikut balapan kaya orang bego." Esa membalas sengit, dibalas dengusan oleh Ira yang lantas menjitak keras dahi Esa.
"Sakit elah, lo semenjak bisa liat kdrt mulu ama gue, nangis nih gue." Esa melengkungkan bibir bawahnya seraya mengusap dahinya, membuat Ira memutar bola mata malas melihat Esa.
"Ira." Mendengar suara sang papa, Ira lantas menyengir tak bersalah sebab juga melihat tatapan Danur yang begitu tajam.
"Ututu adek tiri gue yang tersayang ututu, sini cayang mana yang sakit ututu."
"Jauh jauh lo kakak laknat!"
"Alah, tidur kaga gue kelonin juga nangis lo anak manja."
"Papaaaa."
Danur hanya menghela nafas lantas menggelengkan kepala, memilih hirau pada dua dewasa muda yang tengah adu mulut juga fisik sekarang. Sekilas, Danur menatap ke arah bingkai foto Yaswa yang terletak tepat di bawah biola yang terpajang, senyuman sendu kembali terpatri di wajah tampannya, ingatannya seolah berlari ke masa lalu.
Tentang tanggung jawab, Danur merasa berhasil juga merasa kurang, Danur berhasil mendidik dua anaknya untuk menjadi 'orang', walau begitu, Esa masih lekat dengan manjanya juga Ira masih lekat dengan nakalnya. Esa dan Ira adalah dua orang berbeda, Esa yang manja sedang Ira yang cenderung tak kenal kata manja, Danur mau tak mau harus imbang dan adil, membebaskan tak membebaskan, tapi juga tak berbuat mengekang.
Danur membiarkan Ira melakukan apa yang ia suka, begitu pula Esa, tak sekalipun ia melarang. Perihal Ira yang sembuh dari tuna netra, merupakan permintaan Yaswa dalam ujung surat lembar kedua yang tak sempat ditunjukkannya. Danur tak sangka kalau organ utuh yang Yaswa beri pada Ira adalah matanya, yang membuat Danur merasa melihat Yaswa bila memperhatikan kedua netra Ira.
Danur, merindukan Yaswa, benar - benar merindukannya.
"Papa?" Danur berjengit kaget kala Ira memanggil, sudah tak ada Esa di sana entah ke mana.
"Kenapa, Ira?" Ira tersenyum tipis lantas bersandar di bahu sang papa, dibuat bingung Danur olehnya.
"Rindu mama."
Tatapan Danur berubah sendu, ia mengusap lembut surai Ira yang kini panjang sebahu, benar - benar mengingatkannya dengan Yaswa yang tak sudi memotong surainya kala surainya sampai sebahu. Ira merangkul lengan sang papa lantas menghela nafas, tersenyum tipis seraya menatap ke arah foto Yaswa yang tampak bahagia dengan wajah pucat.
"Ibu, bunda, mama, lidahku lebih cocok panggil ibu kayanya," Ira tertawa kecil, mencoba menyamankan diri di bahu sang papa dengan mengeratkan rangkulan di lengan sang papa, "dulu aku belum bisa lihat, tapi aku kenal suaranya, sedikit berat dan serak tapi halus, papa bisa deskripsikan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Violin and Guitar | Jongsang [END]
Random"Orang ganteng main gitar, orang cantik main biola, cocok." Yaswa si pemain Biola dan Danur si pemain Gitar, bertemu dalam suatu festival lantas mulai saling bercerita dan dekat. ! note ; jongho as dom, lokal au dengan nama lokal. ! cw//tw ; bxb-mpr...