Bagian 17 ⭒࿈⭒ Makan Bersama

56 20 41
                                    

•••

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.



"Ayah bahagia sekali karena bisa berkumpul lagi bersama kalian. Sungguh, tidak ada yang membahagiakan daripada bisa berkumpul bersama keluarga."

Fitri menggigit bibir bawahnya untuk menahan isak tangis yang bisa meledak kapan saja dari mulutnya. Ia tidak bisa melihat pemandangan penuh haru di depannya. Benar-benar mengharukan saat salah seorang keluarga yang selama enam bulan lamanya tidak ada, kini akhirnya bisa berkumpul bersama.

Mbak Sajidah, Sara Mona, dan sang ibu mertua masih menangis sampai sekarang. Apalagi setelah mendengar cerita sang ayah mertua selama di penjara. Baju seadanya, makan pun ala kadarnya. Namun beruntung karena di penjara selalu ada kegiatan rutin. Entah itu shalat berjama'ah, kerja bakti, senam bersama, dan kegiatan lainnya. Jadi sang ayah mertua tidak merasa kesepian, tapi rasa rindu terhadap keluarga pasti ada.

"Ayah punya dua orang teman yang hebat di sana. Mereka masuk penjara karena membela keadilan, tapi mereka justru tidak mendapatkan keadilan."

"Ck! Selalu saja seperti itu memang. Keadilan di Indonesia kadang masih suka dipertanyakan," celetuk Fian dengan netra berkilat-kilat.

Sang ayah hanya terkekeh kala mendengar perkataan putra satu-satunya itu. "Memang benar, keadilan di negara kita ini masih sering dipertanyakan. Tokoh pejabat yang korupsi juga masih merajalela, orang kaya makin kaya, kejahatan di mana-mana, belum lagi pembangunan yang tidak merata."

Fian mengangguk, menyetujui perkataan sang ayah. Begitupun Sara Mona dan Sajidah yang sudah berhenti dari acara menangisnya.

"Fitri."

"Eh, iya! Saya?"

Fitri menunjuk dirinya sendiri saat tiba-tiba namanya dipanggil oleh sang ayah mertua. Ia jadi kelabakan sendiri sekarang. Menatap pada mata yang sisi-sisinya sudah benar-benar keriput itu dengan penuh rasa penasaran.

"Ayah ingin berbicara empat mata denganmu nanti, Nduk."

Senyuman Fitri mengembang seketika, ia mengangguk dengan antusias. Membuat Fian yang sedaritadi memerhatikan ekspresi Fitri jadi ikut tersenyum. Salah satu alasan kenapa Fian menyukai Fitri ya karena itu, senyumannya.

Senyuman Fitri bagaikan bunga matahari yang mekar di ladang bunga. Begitu bersinar, begitu memesona. Sampai-sampai bisa membuat siapapun terpikat. Akan tetapi, Fitri hanya miliknya seorang.

"Baiklah, Ayah. Nanti sekalian kita minum teh hangat di teras, hehe." Cengiran lebar ditunjukkan Fitri saat itu juga. Membuat seluruh keluarganya jadi ikut tertawa karena tingkat istri dari Aldiano Lutfiansyah tersebut.

Kemudian, wanita yang paling dituakan di sana angkat suara. Sang ibu memberitahukan kalau makan malam sudah disiapkan sedari tadi. Mengingat kedatangan sang ayah secara tiba-tiba, jadilah mereka sampai lupa soal makan malam.

Rajawali Ayodhya ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang