Bagian 84 ⭒࿈⭒ Arti Sebuah Pernikahan

28 2 0
                                    

•••

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.



Fitri menangis tersedu-sedu saat melihat sang ibu yang dibawa oleh pihak kepolisian tepat di depannya. Tidak hanya dia saja yang merasa kecewa dan sedih, tapi ketiga saudaranya juga demikian. Mufidah menangis paling keras, karena adik bungsunya itu memang yang paling dekat dengan ibunya.

"Huhu, Ibu ... jangan bawa ibuku," isak Mufidah meraung-raung. Fitri memeluk adiknya tersebut dengan air mata yang masih bercucuran. Mbak Mimah ada di sana, tengah memeluk ibunya dengan erat. Mengucapkan kata-kata penguat pada wanita yang telah melahirkan dan membesarkannya.

Sementara sang ayah tidak terlihat sama sekali sejak tadi. Entah ke mana ayahnya itu pergi, mungkin memang sengaja tidak memunculkan diri karena tidak ingin melihat istrinya diringkus oleh polisi akibat tindak kejahatannya sendiri.

Para tetangga yang melihat kejadian tidak terduga itupun hanya bisa diam dan menonton. Mereka tidak berhak ikut campur dalam urusan keluarga orang lain. Lagipula, ini bukanlah sesuatu yang patut untuk dicampuri.

Bruk!

Mufidah yang sudah tidak bisa menahan rasa lemas di kakinya itu jatuh terduduk. Fitri yang terkejut spontan memekik kecil. Buru-buru ia menyamakan tingginya dengan sang adik dan kembali memeluknya. Ia memaksa kaki Fida agar berdiri dan membawa adiknya tersebut masuk ke dalam rumah. Sebelum masuk, netranya bergulir ke arah sang adik laki-laki.

"Mbak mau menenangkan Fida dulu di dalam," ujarnya pada sang adik laki-laki, Muntaha. Pemuda yang usianya berada dua tahun di atas Mufidah itu hanya mengangguk kaku sebagai jawaban.

Selepas kepergian Fitri dan Mufidah ke dalam rumah, juga bersamaan dengan selesainya Nyonya Anetta berpamitan, salah satu polisi menyuruh wanita tersebut untuk masuk ke dalam mobil. Wanita paruh baya itu melambaikan tangannya sebelum benar-benar masuk ke dalam mobil polisi. Menatap dengan sendu anak pertama dan ketiganya di sana.

"Sampai jumpa anak-anak," ujar Nyonya Anetta dengan suara lirih. Tidak ada yang bisa mendengar kalimat itu kecuali dirinya sendiri. Setetes air mata kembali terjatuh dari kedua kelopak mata yang mulai keriput tersebut.

Nyonya Anetta menenangkan diri dan mengontrol dirinya sebisa mungkin sebelum berujar pada dua polisi di depannya. "Pak, tolong jangan biarkan siapapun menjenguk saya selama masa hukuman nanti."

⭒࿈⭒

Fitri masih berada di rumah kedua orang tuanya saat ini. Duduk melingkar bersama Muntaha dan Mufidah dengan Mutamimah yang berada di tengah-tengah. Keempat saudara tersebut terdiam dengan pikiran masing-masing. Tidak ada yang bersuara hingga hampir lima belas menit lamanya.

Mata Fitri tampak sembab dengan hidungnya yang memerah. Begitupun dengan sang kakak yang tidak berbeda jauh darinya. Apalagi sang adik yang menangisnya paling lama. Kecuali Muntaha, adik laki-lakinya itu baru menangis saat sang ibu sudah dibawa pergi oleh pihak kepolisian. Sementara ayah mereka masih tidak terlihat batang hidungnya sampai sekarang.

"Mbak, aku lapar ..." Mufidah berkata sembari menatap sang kakak pertama dengan tatapan melasnya.

Mutamimah menghela napas dan menatap Fitri setelahnya. "Ayo ke dapur, Fit. Bantuin Mbak masak," tuturnya yang langsung diangguki dengan cepat oleh Fitri. Keduanya segera beranjak berdiri dan meminta Muntaha untuk menemani Fida selagi mereka memasak.

Ketika di dapur, Fitri sudah tidak bisa menahan rasa sesak dan air mata yang sedari tadi dia tahan. Ia menangis terisak sembari memeluk kakaknya itu dengan erat. "Kenapa semuanya jadi gini sih, Mbak?" lirihnya.

Mutamimah tidak tahu harus memberikan jawaban seperti apa pada sang adik. Ia tahu, Fitri pasti sangat syok dengan hal yang terjadi beberapa waktu terakhir. Kehilangan anak, ibu dipenjara, dan apalagi setelah ini? Perceraian?

Memang, ia tidak tahu apakah Fian akan benar-benar mengiyakan permintaan ibunya itu atau tidak. Namun bila laki-laki tersebut sampai mengiyakannya, maka ia janji akan memberikan sepuluh tamparan bolak-balik padanya.

"Yang sabar, yang kuat. Ini ujian untuk kamu, ujian untuk keluarga kita." Mutamimah menepuk-nepuk punggung Fitri untuk menenangkannya. "Berdoa saja dan berharap kalau semua akan baik-baik saja."

"Iya Mbak, aku harap juga begitu."

⭒࿈⭒

Fitri yang baru saja mengeringkan rambutnya jadi terhenti kala sebuah kertas berukuran A4 terulur padanya. Fitri mengerutkan kening, menatap pada sang suami yang mengulurkan kertas tersebut kepadanya. "Apa ini, Mas?" tanya Fitri sembari meletakkan handuk yang telah basah di atas nakas.

"Surat perceraian."

Netra Fitri membulat sempurna. Dengan cepat ia membaca kata demi kata yang tertera di sana. "Ap-apa maksud-"

Fian terkekeh geli dan tersenyum lembut kemudian. "Tenanglah, itu hanya surat cerai palsu. Aku tidak mungkin menceraikanmu hanya karena permintaan Ibumu, sayang."

Fitri tidak merespon, wanita itu masih tampak syok sepertinya. Fian menghela napasnya dan menuntun Fitri untuk duduk di ranjang mereka. Kemudian menggenggam tangan Fitri dengan erat dan menatap dalam pada kedua manik sehitam jelaga tersebut.

"Aku dan Mbak Sajidah menyusun surai perceraian palsu ini sendiri, dan aku hanya membutuhkan tanda tanganmu beserta kesaksian kamu di pengadilan nanti." Fian menjelaskan rencananya kepada sang istri secara perlahan-lahan agar Fitri bisa menangkap maksud dari penjelasannya dengan baik. "Nah, nanti aku juga akan meminta tolong pada hakim di pengadilan untuk bersandiwara di depan Ibu kamu."

"Apakah diperbolehkan? Tidakkah ini sama saja seperti bermain-main dengan arti dari pernikahan itu sendiri?" Fitri menggeleng tidak setuju. "Kamu menganggap pernikahan kita sebercanda itu, ya?"

"Bukan begitu, Fitri. Ini juga demi kebaikan rumah tangga kita. Ohh, atau kamu memang setuju dan akan menuruti permintaan Ibu kamu itu? Kamu ingin bercerai denganku?" ujar Fian dengan nada yang mulai sedikit naik lantaran merasa kesal karena respon istrinya yang tidak sesuai dengan ekspektasinya tersebut.

"Aku bahkan tidak berani berpikir ke sana, Mas! Aku hanya tidak ingin kamu bermain-main dengan pernikahan! Padahal kamu yang paling tahu dan paling paham kalau suatu pernikahan itu sangat sakral!"

Napas Fitri memburu kala semua kalimat itu terlontar dari bibirnya. Ia benar-benar tidak menyangka akan rencana suaminya yang ingin membohongi sang ibu dengan berpura-pura bercerai. Apakah suatu pernikahan sebercanda itu buat Fian? Lantas, apa arti pernikahan mereka baginya?

"Kamu punya solusi yang lebih baik, tidak? Atau kamu memang ingin kita bercerai dan lebih memilih menurut pada Ibumu?" Fian kembali bertanya pada sang istri di depannya. "Aku tahu kalau sedari awal Ibu kamu memang tidak menyukaiku karena latar belakang keluargaku. Namun aku berani melangkah sejauh ini karena kamu, Fitri."

Fitri memijit pelipisnya yang sedikit berdenyut-denyut. "Aku tidak tahu, Mas. Yang jelas, aku tidak ingin main-main soal pernikahan. Aku masih takut akan hukum karma."



Duh, jadi rumit gini urusannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Duh, jadi rumit gini urusannya.

Rajawali Ayodhya ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang