37

47 2 0
                                    

Malam senin kali ini langit begitu cerah, bak sebuah lukisan yang bertaburan bintang dengan dilengkapi si bulat bercahaya yang menjadi pusat disana. Entah kenapa rasanya malam ini suasana terasa jauh lebih syahdu dan apik, bukan berarti malam-malam sebelumnya Jakarta tidak seapik ini, hanya saja kali ini terlihat sangat sangat indah dari yang terindah.

Di balkon, Ray memandangi langit atas dengan kebulan asap beraroma kopi yang menjadi teman duduknya. Angin malam membuat anak rambut Ray terbang searah arus, Ray terkekeh sendiri lalu menyugar pelan rambutnya kebelakang namun kembali diterbangkan oleh angin malam.

"Mau masuk angin?"

Suara yang tak pernah bosan dia dengar mengalihkan atensinya. Langit indah dia tinggalkan dulu lebih memilih untuk memandang ciptaan Tuhan yang tak kalah indahnya dari taburan bintang diatas sana.

"Modal kaos oblong aja sok berdiam diri diterpa angin." katanya, melangkah melewati Ray sampai akhirnya dia dudukan bokongnya di kursi sebelah yang hanya dibatasi meja bundar dengan secangkir kopi diatasnya.

"Rafa udah tidur?"

Fani mengangguk, pandangannya tertarik ke atas, kembali di manjakan dengan taburan bintang diatasi sana. Dia baru menyadari, pantas saja Ray betah duduk walau angin malam membuat permukaan kulitnya dingin ternyata memang secandu ini.

"Bagus kan? Tau ngga, mereka itu saling melengkapi. Langit dengan senang hati menjadi tempat untuk bulan dan bintang singgah, bulan dengan senang hati juga rela bersinar secerah itu agar langit ngga gelap gulita. Dan bintang berbondong-bondong saling memanggil temannya untuk ikut menemani bulan. See, jadi seindah itu kan. Ngga lengkap rasanya kalau ada bulan ngga ada bintang."

Ray menoleh ke arah Fani yang ternyata sedang menatapnya balik, tak lama Ray kembali bersuara, "Sama kaya kita. Aku yang berengsek gini diberi kesempatan buat bersanding sama kamu yang hatinya demi apapun sempurna."

"Aku yang buluk gini dikasih teman hidup yang ganteng banget, saling melengkapi bukan?" Fani merespon cepat sampai membuat Ray tergelak sendiri mendengarnya.

"Ray, jangan berharap terlalu banyak, jangan percaya terlalu banyak, dan jangan mencintai terlalu banyak, karena terlalu banyak akan melukai begitu banyak pula, coba belajar dari yang lalu. Kita itu sama-sama punya kelebihan juga punya kekurangan. Hati kita sama-sama punya kelebihan, aku yang seperti kamu katakan dan kamu yang seperti aku katakan."

"Apa?"

"Kamu berhasil mengesampingkan ego. Bukti? Masih ingat pas kamu beri kebebasan buat aku milih berpisah atau tetap sama kamu? Itu bagi aku udah luar biasa. Dan hati kamu berhasil membuat tempat singgah ah bukan lebih tepatnya tempat untuk nama Fani menetap, hanya Fani."

Ray mengangguk, "Hanya Fani."

"Kekurangan kita, lelah jika menghadapi masalah tentang hati."

Ray tersenyum nanar, memorinya kembali berputar ke masa kelamnya dulu, terlalu keruh untuk Ray kembali selami hanya untuk mengintip secuil kejadian. Menghembuskan nafas pelan lalu mengambil secangkir kopi yang sedari tadi dia anggurkan, mulai menyesap sedikit demi sedikit.

"Mau nambah?"

"Belum abis." katanya, "Kenapa kamu pinter banget pura-pura bahagia, ketika kamu disakiti kamu lebih milih buat tutup mulut terus tarik bibir malah senyum yang kamu tunjukin, kalau ditanya jawabnya ini masalah gue, jangan dipikirin, gue ngga papa. Memendam emosi sendiri, menutup diri ngga mau cerita, sok iya. Mulai sekarang jangan lagi, aku ngga suka, aku siap jadi buku buat kamu tulis sebanyak apapun masalah kamu, paham?"

Hati Fani mencelos ketika runtutan kalimat yang diucapkan Ray memasuki telingannya. Pandangannya mulai memburam, sekuat tenaga Fani tahan untuk tidak menangis, pikirnya dengan posisi yang masih menengadah menatap langit, air matanya tidak gampang untuk turun. Fani berdecak, kenapa genangan air dipelupuk matanya semakin banyak, sampai akhirnya dia menutup mata sebentar dan air mata itu jatuh tepat di pangkuannya. Entah bagaimana kilasan-kilasan saat dia sedang berada di titik bawah muncul dalam kepalanya satu per satu. Fani membenarkan ucapan Ray tadi, memang benar adanya, hati dan jiwanya membiru tanpa ada yang tahu.

"Kenapa nangis? Ngga ada yang suruh kamu buat nangis. Hapus air matanya."

Fani menggeram dalam hati, alih-alih menghapus air matanya, Fani malah memberikan cubitan di lengan kiri Ray. Dia juga tidak mau menangis, tapi air matanya keluar begitu saja dan salahkah Fani kalau berharap Ray yang menghapus air matanya? Tidak salah si tapi balik lagi jangan berharap terlalu besar.

"Shhh sakit Fan.. " Ray mendesis pelan, diam sebentar lalu berpindah posisi berjongkok didepan Fani. Ray mendongak untuk melihat wajah cemberut Fani yang entah sedang menatap ke arah mana yang pasti tidak melihat ke arah Ray.

Tangan Ray terulur untuk menangkup pipi Fani, ibu jarinya bergerak ke kanan dan ke kiri bermaksud untuk menghapus sebulir air mata Fani yang belum mengalir turun meninggalkan pipi.

"Berharap itu ngga salah, yang salah adalah porsi yang diberikan. Apapun itu kalau berlebihan jatuhnya ngga baik. Berharap buat dihapus air matanya juga ngga salah, itu sama sekali ngga berlebihan."

Fani melotot tak habis pikir. Laki-laki didepannya ini benar-benar menyebalkan. Punya indra ke enam atau bagaimana sampai ucapannya tepat sekali dengan isi hati Fani. Sebal? Tentu saja tapi malu lebih dominan. Entahlah malu saja, padahal dirinya dan Ray kenal  bukan 1 atau 2 bulan saja, lebih dari satu tahun mereka kenal dan bahkan dulu sifat mereka itu  tidak mengenal yang namanya malu. Ray pandai membuat Fani salah tingkah memang.

"Ish pede gila! Jauhan sana!"

Ray menggeleng, "Mau peluk, dingin." ucap Ray dengan nada yang dibuat semanja mungkin sambil tangannya yang terentang lebar.

"Dih, masuk lah ayo."

"Ngga mau, bulannya belum mau tidur, masih melek tu." Ray menoleh kebelakang dan jari telunjuknya menunjuk ke arah dimana bulan itu berada.

Mata Fani mengikuti arah tunjuk Ray, "Kalau bulan melek sampai jam 2 nanti?"

"Ya kita bikin tidur."

"Caranya?"

"Berdoa biar hujan turun."

"Kalau ngga turun?"

"Yaudah biarin, nanti juga tidur sendiri, ngga perlu aku kelonin kan hahahah."

Hanya dengan begitu saja, Fani mampu tertawa terbahak-bahak. Merasa ucapan Ray tadi itu sangat konyol. Dan dibawah tatapan Ray, tawa Fani berangsur-angsur melambat dan lirih hanya tersisa kekehan pelan disana. Padahal Ray sedang dengan nyamannya mendengarkan tawa Fani yang kelewat merdu, layak masuk nominasi tawa termerdu sepanjang masa.

Cup

Kekehan yang Fani hasilkan langsung menghilang ketika kecupan manis Ray daratkan dibibirnya. Dalam sehari sudah berapa kali Ray mengecup bibirnya? Lebih dari 5 kali. Ingin memaki tapi dari awal bibirnya ini sudah menjadi hak mutlak milik Ray, hanya Ray yang boleh menyentuh, mengecup dan mencium. Jadi biarkan saja.

"Bulan insecure liat ketawa kamu. Jadi diem aja."

"Rayhan."

"Kenapa sayang?"

"Kenapa sekarang kamu berubah?"

"Dalam hal?"

"Semuanya. Kita itu musuh loh, kenapa sekarang jadi kaya gini? Kata kamu anti damai sebelum punya anak 7."

Ray terkekeh, menjitak kepala Fani pelan hingga membuat si empu berdesis lirih, menurut Ray itu pelan tapi entah menurut Fani, "Masih inget? Mau emang punya anak 7? Ubah lagi deh slogannya jadi gini, pantang damai sebelum punya anak 2. Sekarang kan udah ada 1 jadi kita setengah damai nanti kalau adeknya Rafa hadir nah kita baru sah berdamai."

"A-adeknya Rafa?"

"Maybe. Udah ayo masuk, biarin bulan begadang, kita tidur aja." Ray berdiri, tangannya tergerak untuk mengambil secangkir kopi yang belum sepenuhnya habis untuk dia bawa ke dalam. Tapi belum sempat dia raih, Fani lebih dulu menyaut dan berakhir Fani yang membawa cangkir kopi itu.

"Lain kali bikin dua kopi, biar sama-sama pegang." kata Ray sebelum dia meninggalkan Fani sendiri di balkon. Dari dalam kamar dapat Ray dengar decakan sebal dan sedikit umpatan keluar dari mulut Fani karena merasa kesal sudah ditinggalkan apalagi dalam keadaan pintu antar kamar dan balkon yang sudah Ray kunci. Mencari gara-gara memang, Ray.
Bulan yang tengah begadang malam itu mungkin jika punya mulut dia akan tertawa. Menyaksikan bagaimana serunya malam itu ketika sepasang suami istri mulai membentuk kenangan indah yang nantinya akan tertulis di buku cerita cinta mereka. Dan berterimakasihlah kepada bulan yang sudah dengan apiknya merekam suatu momen indah di malam senin.

Kisah Kita [Nikah Muda vers.2]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang