Di pagi yang temaram dengan angin yang sedikit berhembus kecil membuat awan hitam yang semula bergulung di sudut timur kian berjalan ke tengah, berkumpul bak sebuah payung besar yang memayungi kota Jakarta. Gerimis turun begitu saja tanpa diminta padahal kemarin malam langit secara gamblang menunjukkan kalau terang akan menemani malam senin. Benar memang, terang hanya menemani malam senin, tidak untuk menemani hari senin.
Seperti berganti jam kerja, sekarang mendung yang mengambil alih hari senin.Ray berdiri didepan cermin, menata kembali penampilannya mulai dari menyisir rambutnya, membenarkan letak dasi yang sedikit bergeser, merapikan kerah kemejanya yang sedikit terlipat dan mengancingkan 2 kancing jas hitamnya yang masih terbuka. Kembali dia akan memulai aktivitasnya, aktivitas yang sudah 3 tahun belakangan Ray lakoni.
"Fan."
Melangkahkan kakinya mendekati perempuan yang sedang duduk diatas tempat tidur, yang sedari tadi menemaninya bersiap. Entah jam berapa Fani terbangun yang pasti ketika Ray bangun, makanan sudah tersaji di meja makan, setelan yang akan dia pakai ke kantor pun sudah tergantung rapi di samping lemari coklat besar berbahan kayu jati.
"Nanti kalau Daren ke sini suruh nunggu sebentar. Aku sempetin pulang jam 10 nanti."
Sepasang alis Fani menukik, "Ya bilang ke Daren suruh dateng kesini jam 10."
"Udah. Kamu ngga tau aja gimana si Daren."
"Emang gimana?"
"Rumah kita udah kaya dijadiin basecamp buat dia nongkrong. Mungkin bagi dia rumah kita itu rumahnya juga. Dulu, pagi siang sore malam dia selalu disini."
"Ngapain?" tanya Fani dengan suara tenang tapi sedikit menyimpan kesinisan. Rada tidak suka dengan orang seperti itu, apa tidak punya pikiran kalau tindakannya itu jelas mengganggu? Bahkan anak SD saja tahu kalau hal seperti itu tidaklah bagus. Awas saja ketika nanti melihat bagaimana rupa Daren, Fani akan lempari wajahnya dengan bantal sofa ruang tamunya.
"Main. Kemarin waktu Lea meninggal, aku sempet ngabarin dia dan dia lagi di Jogja jadi ngga sempet buat kesini. Rada tenang si ngga ada Daren kemarin. Ikut ngerasain ngga nyamannya ya?"
Fani mengangguk, lantas berdiri lalu melangkah keluar entah apa yang akan dia lakukan tapi dari raut wajahnya sepertinya dia melupakan sesuatu dibawah sana. Ray menyambar tas kerja yang tergeletak di atas tempat tidur lalu ikut melangkah mengekori Fani dengan langkah yang sedikit terpingkal-pingkal.
"Aku pernah bilang sama dia kaya gini, Daren coba satu hari lo diem dirumah, satu hari aja ngga usah pergi kemana-mana."
"Terus apa kata dia?" tanpa menoleh untuk melihat kebelakang, Fani terus menuruni satu per satu anak tangga.
"Iya dia satu hari itu ngga kesini, tapi lepas satu hari itu selesai dia balik lagi."
"Goblok!"
Ray tergelak, lucu saja rasanya mendengar Fani mengatakan itu dengan keadaan dia yang tergopoh-gopoh menghampiri meja makan. Ternyata sebuah kotak makan yang terbukalah alasan dia bergegas turun dari kamar. Masalahnya bukan pada kotak makan itu tapi isinya, Fani lupa menutup kotak makannya yang sudah dia buka dari 30 menit yang lalu, niat agar makanan tidak terlalu panas dan tidak menimbulkan uap saat ditutup malah menjadi dingin klenyes-klenyes.
"Yah.." Fani menatap Ray begitu sedih, sedangkan Ray balik menatapnya dengan tatapan tenang seolah-olah berkata ngga papa. Selama itu masakan kamu, aku bakal tetap makan.
"Tutup aja, nanti aku makan."
"Beneran?"
"Iya."
Fani mengangguk, "Kalau sampai kantor udah ngga bikin napsu, beli aja di warteg depan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah Kita [Nikah Muda vers.2]
AcakJadi ini adalah Nikah Muda Versi 2. Alur beda dikit, mungkin lebih rapih tulisannya. Jadi ya tidak sepenuhnya dirubah. Jadi kalaupun kalian ngga baca/belum baca "Nikah Muda" kalian ngga bakal bingung kalau langsung baca cerita ini. Enjoy ya