"T-tolong ... "Anak perempuan yang melihat itu hanya bisa bersembunyi dibalik semak-semak, dia tak akan bisa membantu dan jikapun dia membantu yang ada dia juga akan mati. Jadi, dia memilih menonton saja. Dia tak bisa pergi sebelum sosok berhoodie hitam itu pergi.
Terlihat kaki wanita itu yang diseret dengan kedua tangannya yang diikat dengan rantai, dia diseret dengan posisi tubuh tengkurap. Kepala wanita itu mengeluarkan banyak darah karena bergesekan langsung dengan aspal, bahkan wajahnya nyaris hancur.
"Mau mati?" tanya sosok berhoodie hitam itu dengan lembut kepada wanita yang diseretnya, kini dia berjongkok dihadapan wanita itu.
"Kamu sendiri yang mencari gara-gara, sayang," ucapnya dengan nada dalam. "Kalau kamu tidak selingkuh. Aku nggak akan berniat membunuhmu," lanjutnya lagi.
Begitu saja hingga tanpa aba-aba laki-laki itu menusuk-nusuk kepala sang wanita yang diseretnya sebanyak 7 kali tikaman, setelahnya menusuk perut dan kaki wanita itu hingga 20 kali tusukan. Terakhir sosok berhoodie itu menarik kepala sang wanita kemudian menendangnya layaknya bola hingga kepala wanita itu menggelinding kearah anak perempuan itu.
"Owh, aku bahkan tak tahu kalau akan disaksikan oleh murid kesayangan ku."
"Stevanca? Or ...... Stevanna?"
Wanita cantik yang tengah menggendong balita itu menghentikan langkahnya. Dia membalikkan badannya dan memandang sosok dihadapannya dengan datar.
"Dengar, aku tahu sebenarnya kamu tahu apa yang harus kamu lakukan." Ada jeda sejenak diucapannya, "orang itu telah membunuh orangtua teman-teman kamu, oh atau bisa disebut sahabat-sahabatku? Dia telah membunuh Lova, Camella, Stefora, Amora, Sonya dan Arga."
Wanita itu bukan tak peduli dengan sahabat-sahabatnya yang telah mati karena kesalahan yang tak mereka ketahui, tapi dia hanya berusaha berpikir dengan logis.
Kematian ke-lima orang itu nyaris berselang hanya beberapa hari, semenjak mereka kembali dari reunian bersama anak-anak mereka.
3 tahun lalu.
Kini Reuni adalah hal yang dibencinya karena dia takut berubah menjadi ucapan selamat mati ataupun pertemuan yang seolah mengatakan hai, aku kembali hanya ingin mengucapkan aku akan pergi.
Aira yang mendengar perkataan wanita itu mengernyitkan dahi karena tak tahu siapa orang-orang yang disebutkan wanita itu.
Dia hanya tahu Amora,
karena itu adalah Mommy dari Vanilia yang kini menjadi sahabatnya.
"Aku nggak punya banyak waktu. Sampai berjumpa lagi, Aira."
TUNGGU! AIRA BAHKAN BELUM SEMPAT MENANYAKAN KEPADA WANITA ITU TENTANG HUBUNGANNYA, KIARA, DAN KAIRA! Tentang kebenaran dari alasan Stevanna memalsukan kematiannya, tentang Nathan, tentang Seano dan Xavior.
Ataukah dia buru-buru pergi karena tak mau Aira menanyakan hal itu padanya? Dia sudah menebaknya?
******
"Gue nggak tahu kenapa gue ngerasa kesal saat seharusnya gue ngerasa senang," ucap Aira dengan memandang ke depan, dia terlihat menikmati pemandangan alam yang tersaji didepan matanya.
Melihat Aira yang sepertinya paham dengan keadaan, mau tak mau Kaira menghela nafasnya. "Gue cuma nggak mau membuat orang lain berada pada posisi yang dapat membahayakan nyawanya, maka dari itu gue sengaja mengalihkan pemikiran Lo ke hal lain. Seperti menyelidiki hubungan kita?"
"Gue merasa nggak berguna," ucap Aira mengabaikan perkataan Kaira.
Kaira memandang Aira yang juga sedang menatapnya dengan lekat.
"Gue tahu sebenarnya Lo udah tahu semua hal yang ingin gue tahu," ucap Aira dengan sinis.
Dia merasa benar-benar dipermainkan sekaligus dipermalukan.
"Dan Lo berharap gue mau ngasih tahu hal-hal yang ingin Lo tahu?" tanya Kaira tak kalah sinis.
Kaira nyaris tahu semua hal, sekalipun dia kerap kali menunjukkan hal yang sebaliknya; berpura-pura tidak tahu, berpura-pura seperti orang dunggu.
"Lo takut mati. Sedangkan kalau Lo bantu gue, Lo pasti akan dihadapkan pada situasi yang akan sangat membahayakan, Lo bisa saja mati."
Aira bahkan tak menyangka kalau Kaira sebenarnya adalah orang yang cukup peduli dengan orang lain? Atau hanya pada Aira saja?
"Jangan bilang kalau Lo adalah orang yang menyelamatkan nyonya Fransisco yang sangat arogan itu?" tebak Aira, entah kenapa pemikiran itu muncul didalam otaknya.
Entahlah, dia tak tahu Kaira sebenarnya baik atau jahat. Atau mungkin saja ke-dua nya?
Tapi melihat secercah kepedulian di diri Kaira kepadanya mampu membuat Aira benar-benar melenyapkan pemikiran buruk yang ada di otaknya tentang Kaira, walaupun sebenarnya dia sudah menyadari kalau Kaira tak seburuk seperti perkataan Vanilia dan Amora.
"Lebih tepatnya Xavior. Untung saja dia dirancang memiliki banyak nyawa, sehingga dia tak mati saat menyelematkan wanita itu," ucap Kaira.
Mau tidak mau Aira akhirnya tertawa agar lelucon yang Kaira lontarkan tidak menjadi garing. "Hahaha."
"Lo masih cinta sama dia?" tanya Kaira.
Sebenarnya Aira tahu kalau Kaira secara tak langsung berniat mencomblangkan nya dengan Max, dan itu baru dia sadari sekitar 3 hari yang lalu. Padahal harusnya Aira menyadari dari lama, tepatnya waktu dia mendobrak pintu apartemen Kaira yang ternyata dihuni Max--Kaira berniat mengetahui "bagaimana reaksi Aira saat melihat Max (laki-laki) yang shirtless.", walau yang terjadi justru tak sesuai ekspetasi.
"Dia siapa? Cherline? Xavior? Atau Felix?" tanya Aira pura-pura tak tahu. Harusnya Kaira tahu pertanyaan retoris dari Aira adalah bentuk dari ketidaksukaannya.
"Xavior Zyondra Fernando."
"Ya. Lo mau gue hilangin perasaan gue ke dia?"
"Ya."
******
"Kenapa Lo minta bantuan gue disaat sebenarnya Lo bisa ngelakuin semuanya sendiri?" tanya Aira kepada Kaira yang tengah memainkan handphonenya.
Kaira menoleh sejenak setelahnya memilih mengabaikan perkataan Aira dan lanjut memainkan handphonenya yang berhasil membuat Aira merasa kesal kemudian merampas handphone Kaira.
"Kenapa?" tanyanya lagi.
Kaira menghela nafasnya setelahnya memandang gadis itu dengan lekat, "karena gue yakin Lo pasti nantinya bisa bantu gue."
"Gue nggak tahu kata-kata yang tepat untuk menggambarkan posisi Lo, tapi yang pasti Lo nantinya bisa menjadi tameng gue. Kelemahan orang itu sebenarnya ada di Lo."
TBC.
KAMU SEDANG MEMBACA
KAIRAKIARA [ON-GOING]
Romance𝐊𝐚𝐢𝐫𝐚 𝗯𝗲𝗻𝗰𝗶 𝗱𝗲𝗻𝗴𝗮𝗻 𝗺𝗮𝗹𝗮𝗺, 𝘁𝗮𝗽𝗶 𝗔𝗶𝗿𝗮 𝗷𝘂𝘀𝘁𝗿𝘂 𝗺𝗲𝗻𝘆𝘂𝗸𝗮𝗶 𝗺𝗮𝗹𝗮𝗺. 𝗔𝗶𝗿𝗮 𝘁𝗮𝗸𝘂𝘁 𝗱𝗲𝗻𝗴𝗮𝗻 𝗸𝗲𝗺𝗮𝘁𝗶𝗮𝗻, 𝘁𝗮𝗽𝗶 𝗩𝗮𝗻𝗶𝗹𝗶𝗮 𝗷𝘂𝘀𝘁𝗿𝘂 𝗺𝗲𝗻𝗴𝗶𝗻𝗴𝗶𝗻𝗸𝗮𝗻 𝗸𝗲𝗺𝗮𝘁𝗶𝗮𝗻. Bukankah it...