11. Mengejar Seberkas Restu

1.2K 82 2
                                    

 "Tidak akan ada masa depan bila tidak ada masa lalu. Pengkhianat terbesar adalah harapan kosong. Kenyataan terpahit adalah kenyataan yang tak setinggi harapan itu."― Dee, Perahu Kertas

 

  Kehidupan Empat tahun yang lalu, adalah masa-masa penuh bahagia untuk Fee, bukan tidak mensyukuri keadaan saat ini. Atau menghitung nikmat yang tuhan berikan, melihat En tertawa didepan matanya, juga bentuk anugrah terindah dalam hidupnya, Tuhan membayar lunas kesakitan- kesakitan itu di masa lalu, Apalagi bukan cuma En Tuhan membawa Pram kembali disini, mengisi kosong hati, Fee berharap ini bukan sekedar bunga tidur semata.

   Saat memutuskan kembali bersama Pram, fee tau itu, dia akan melewati fase terberat, entah dari lingkungan pertemanannya, atau juga dari keluarga sendiri, termasuk Mama ririn yang sampai hari ini membenci Pram. Luka di hati beliau begitu kokoh, Fee jadi sedih , ketika mama dengan tegas menolak keberadaan Pram dirumah nya. Seperti kejadian pagi tadi, sebelum En datang bersama Pram untuk mengajak Fee Menghabiskan weekend dipantai.

  "Mama lihat-lihat kamu makin deket sama Pram." Ujar mama tidak ramah sama sekali, padahal ini pertama kali mama bicara lagi dengannya setelah 3 hari tak menyapa sama sekali.

  Fee yang akan mengigit Sandwich, pun urung menyantap sarapannya "mama kan tau, hak asuh En masih sepenuhnya ditangan Pram, aku enggak bisa ngelarang dia disana Bareng kami."

  "Ya kamu bilang dong ke dia, Untuk Enggak nguntit kemanapun kalian Pergi, En itu anak kandung kamu loh Fee, segitunya amat dia curiga, kenapa enggak sekalian suruh dia sewa bodyguard sekalian." Mama marah sekali, raut wajahnya pun memerah, menahan emosi. Fee jadi takut salah bicara, apalagi mama itu paling benci di bantah, apapun alasannya jika kita bersalah, akui lah kesalahan , jangan banyak mencari pembenaran.

    Fee menghembuskan nafasnya pelan, sayang tidak ada papa yang biasanya membela anak-anak nya saat begini, Ia jadi tidak berselera makan.

   "Mama kenapa sih , akhir-akhir ini sikap mama ke aku berubah, aku enggak tau salah ku dimana?." Jujur Fee sama sekali tidak nyaman dengan kondisi seperti ini, biasanya sarapan pagi mereka terlewati dengan bincang hangat, mama malah memancing keributan.

   "Coba kamu tanya ke diri kamu sendiri, apa kesalahan kamu saat ini!." Balas mama bersedekap dada didepan Fee.

    "Aku enggak tau ma, kalau mama punya jawabannya aku mau dengar sekarang, biar semua jelas disini, aku capek mama diemin aku kayak ini, seolah-olah aku manusia paling berdosa disini."

   Mama tidak menjawab, perempuan paruh baya itu malah bangkit dari duduknya, dan menatap ke arah fee sekali lagi "case closed, mama Enggak akan bilang apa-apa, sampai kamu sadar kekacauan yang kamu perbuat, anggap aja ini hukuman buat kamu."

  Selepas itu Fee ditinggal sendiri, dibuat berfikir berpuluh -puluh kali tentang kesalahannya . Tanpa mama sadari mendiamkan adalah hukuman paling kejam untuk manusia dibumi ini.

   Fee menghapus sudut matanya, mengingat kejadian tadi, Membuat hati meradang pilu. Tanpa sadar kegiatan fee barusan, mengundang perasaan pram yang tengah bermain bersama En dipinggir pantai. Laki-laki itu bangkit membawa anaknya , dengan dalih waktu makan siang telah tiba.

   "Are u oke?." Tanya pram sembari mengelus pelan pucuk kepala Fee. Yang di tanya hanya bisa mengangguk kan kepala saja.

  "En udah selesai mainnya nak?" Fee beralih menatap En yang wajahnya memerah bak tomat.

  "Belum mama.. tapi kata Papa En makan siang dulu, biar enggak sakit perut. " Fee Tersenyum manis, mendengar ujaran polos sang anak. Di umur En sekarang, memang segala yang dilakukannya akan terlihat lucu dimata orang dewasa.

Marry Me Again [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang