4 Juni 2030, 09.00 GMT+8
Kawasan Liang Butan, Sabah
43 Jam sejak Shotdown
Berolahraga pagi, menghirup udara segar, apalagi di tempat yang banyak pepohonan, tentunya itu menjadi impian yang ideal bagi setiap orang. Tetapi tidak demikian yang ada di pikiran Rama pada pagi hari itu.
Lari-nya pagi ini bukan untuk berolahraga rutin menjaga kondisi fisiknya, tetapi mengejar waktu demi keselamatan dirinya sendiri.
Sesekali dipantaunya handheld GPS itu, memastikan bahwa dirinya masih berada di jalur yang tepat untuk menuju ke koordinat tujuannya. Dan sebagaimana sudah dipahaminya, perbatasan RI dan Malaysia sebagian besar merupakan punggunggan bukit. Maka rute 'olahraga'-nya pagi ini seluruhnya dalam keadaan menanjak.
Para pembuat peta dan para pemimpin negara atau daerah, pada masa lalu, biasanya mengambil acuan bentang alam atau landmark pada saat mereka menentukan batas wilayah kekuasaan mereka. Bentang alam itu bisa berupa puncak gunung, aliran sungai, jalan, dan sebagainya. Itulah mengapa pada peta, garis batas wilayah (batas negara, batas provinsi, batas kabupaten, dsb) biasanya berbentuk garis yang berkelok-kelok, karena akan menyesuaikan kontur dari bentang alam yang disepakati itu. Baru pada pengembangan lebih lanjut, setelah peta sudah diproduksi secara luas, pengembangan wilayah tidak lagi mengacu pada bentang alam, melainkan garis lurus imajiner (sebagai contoh, lihat peta Australia).
Yang lebih menyengsarakan bagi Rama, tubuhnya sudah dua hari tidak dalam kondisi yang optimal. Luka tembak di betis kiri dan luka di sekujur tubuhnya akibat serangan mortir semalam, seolah membuat otot-ototnya tidak optimal dalam menyalurkan tenaga untuk terus berlari.
Cadangan air minumnya sudah mulai menipis lagi. Dua potong kaos kaki yang semalaman dihujan-hujankan untuk menyerap air, yang kemudian disimpannya dalam kantong plastik, kini tinggal sepotong saja yang masih lembab. Sebelah kaus kakinya sudah sejak fajar tadi kering diperasnya untuk mereguk tetes demi tetes kehidupan.
Beruntung pagi ini, cuaca di belahan utara khatulistiwa ini tidak begitu terik, dan meskipun pakaian Rama sekarang sudah basah kuyup dengan keringatnya, energinya tidak terkuras habis untuk sesi 'olahraga pagi' ini.
Rama melihat kembali ke GPS-nya, dan menyadari bahwa titik tujuannya tinggal beberapa meter didepan. Bukit ini ternyata sebelumnya adalah lahan penebangan kayu, sehingga setelah masa penebangan, lahan ini akan tetap terbuka, setidaknya sampai 10 tahun berikutnya ketika tunas-tunas pohon baru yang ditanam itu mulai tumbuh dan siap untuk ditebang kembali.
Saat ini, tempat itu berupa sebuah area terbuka, bisa melihat jauh ke berbagai arah di Sabah, namun sangat terbatas jarak pandang ke wilayah Indonesia yang masih berupa hutan yang cukup padat.
Rama mengambil Tacbe-nya lagi dan memulai hubungan radionya.
"TOC, Warlock-Two. On position for extraction, over"
"Warlock-Two, extraction on the way, please wait, ETA ten minutes, over"
Telinga Rama sempat menangkap bunyi letupan di kejauhan...
"TOC, copied, holding for ten minutes, ov..."
Belum selesai Rama berbicara dan tiba-tiba rasa sakit yang teramat sangat menyeruak seketika di area bahu dan leher sebelah kirinya. Tubuhnya tersentak kedepan.
Sebuah peluru baru saja melintas cepat dan, entah menyerempet atau menembus, bahunya serta menggores lehernya. Andai peluru itu sepuluh sentimeter lebih kebawah, sudah bisa dipastikan nyawa Rama tidak akan ada lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sayap Tanah Air 2 - Dibalik Konflik...
ActionKonflik terjadi antara dua negara tetangga. Dan Indonesia harus menyiagakan pasukan militernya untuk mengamankan wilayah perbatasan, baik di daratan maupun batas laut. Ketika hampir seluruh prajurit terbaik bangsa ini bertugas, satu musibah terjadi...