2 Juni 2030
Jakarta
Jam 18.30
Gadis semampai bertinggi 167 sentimeter dengan rambut lurus sepunggung dan curl kecil di ujung-nya itu selesai memarkirkan Honda City-nya. Setelah mesin mobil mati sempurna, ia mengambil handbag-nya dari kursi kiri, yang sedikit tertutup Snelli (jas dokter) lengan pendek, yang tadi diletakkannya dengan asal saja ketika ia berangkat dari tempat kerjanya.
Setelah keluar dari mobil seraya menutup dan mengunci pintu kendaraannya, gadis cantik bernama dr. Dewi Shinta Hapsari itu menghela nafasnya sejenak, sekilas memperhatikan lagi penampilannya dalam posisi berdiri, meyakinkan bahwa pakaiannya masih cukup layak untuk kegiatan malam hari ini.
Pagi tadi, sahabatnya sejak lama, Windadari Kusuma Putri, meneleponnya untuk mengajak Shinta dan keluarga, makan malam bersama. Sebuah restoran berpenampilan heritage menjadi venue pilihan mereka.
Persahabatan mereka berlangsung dalam rentang waktu hampir tiga belas tahun. Sejak keduanya masih duduk di bangku SMP, melanjutkan jenjang SMA di sekolah yang sama. Perbedaan pilihan pendidikan tinggi yang mereka ambil sempat memisahkan mereka beberapa waktu. Hampir tujuh tahun Shinta habiskan untuk menyelesaikan pendidikan Fakultas Kedokteran di Universitas Indonesia, hingga dilantik menjadi dokter penuh beberapa bulan yang lalu, dan sekarang menikmati penugasan prakteknya sebagai dokter umum di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional dr. Cipto Mangunkusumo.
Sedangkan Winda, memilih jurusan Teknik Kimia di Institut Teknologi Bandung dan menempuh pendidikan strata-1-nya dalam waktu hanya 3.5 tahun, lulus-pun dengan predikat Summa Cum Laude. Bahkan sebelum ia diwisuda, sebuah badan riset yang dipimpin oleh seorang professor di ITB langsung merekrutnya untuk bekerja. Hingga setahun kemudian, Winda mendapat apresiasi dari professor tersebut dan diberikan beasiswa untuk menempuh jenjang S-2-nya. Sekali lagi, kurang dari 2 tahun, gelar magister itu sudah tersemat dibelakang namanya.
Kembali ke soal undangan makan malam, tadi pagi tiba-tiba smartphone Shinta berdering dan mendapati nama Winda sebagai pemanggil. Winda mengundangnya dan kedua orang tua Shinta untuk berkumpul di acara 'syukuran', karena telah selesai menempuh pendidikan lanjutannya, sekaligus temu kangen dengan Shinta. Bisa dibilang cukup lama juga mereka tidak saling bertemu, karena sejak perkuliahan jenjang S-1 itu, Winda lebih banyak menghabiskan waktunya di Bandung daripada di Jakarta.
Jadi, pola hubungan Shinta dengan dua kakak-beradik anggota keluarga Prabu Prastomo dan Dewi Kasalya itu bisa dibilang hampir mirip, mereka bertemu hanya sekali-dua kali sepanjang tahun. Shinta yang berdomisili di Jakarta, sedangkan Mas Rama-nya di Makassar, atau dengan Winda yang lebih sering tinggal di Bandung.
Walau demikian, Shinta masih nyaman bermain sendiri ke tempat tinggal Oom Prabu dan Tante Dewi (belakangan keduanya malah ngotot lebih ingin dipanggil Papa dan Mama dibanding Oom dan Tante) kapan saja ia inginkan, tidak lain karena sosok Shinta seolah jadi pengganti anak-anak mereka yang 'hilang' di dunia masing-masing.
"Assalamu 'alaikum, Selamat malam, Pa, Ma", sambut Shinta ketika ia menemukan meja tempat ketiga orang yang dikenalnya itu berada.
"Wa'alaikum salam, nak Shinta", jawab seorang wanita cantik yang berada di usia awal lima puluhan, namun memiliki aura kecantikan luar biasa yang masih memancar dengan sempurna, bahkan Shinta sesekali merasa bahwa wanita kedua yang dipanggilnya Mama -selain ibu kandungnya itu- selalu tampil jauh lebih cantik darinya. Shinta menyalim tangan Mama Dewi seraya saling memeluk dan sun pipi.
Kemudian Shinta berpaling dan menghampiri sosok lelaki gagah yang wajahnya adalah versi lebih matang dari seseorang yang selalu menghiasi hatinya hampir setiap hari. Disalimnya tangan pria itu, dengan penuh khidmat, yang kemudian merasa bahwa pria itu membalas kasih sayangnya dengan mengelus rambutnya. Sepertinya memang benar bahwa gadis cantik yang sudah dianggap sama dengan anaknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sayap Tanah Air 2 - Dibalik Konflik...
ActionKonflik terjadi antara dua negara tetangga. Dan Indonesia harus menyiagakan pasukan militernya untuk mengamankan wilayah perbatasan, baik di daratan maupun batas laut. Ketika hampir seluruh prajurit terbaik bangsa ini bertugas, satu musibah terjadi...